BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didunia terdapat tiga macam sistem ekonomi yang dianut oleh Negara-negara di belahan bumi ini. Sistem ekonomi liberal, sosialis dan campuran.Indonesia memilih sistem ekonomi campuran. Trend yang terjadi pada negara berkembang dan negara pecahan Uni Soviet adalah memperbaiki sistem perekonomian di negaranya. Kebijakan ekonomi baru ini memanfaatkan instrumen-instrumen pasar dan persaingan dalam membangun ekonomi bangsa.
Negara sebagai pembuat kebijakan mengarahkan masyarakat untuk menjalankan persaingan usaha yang sehat. Hal ini untuk mendapatkan persaingan yang sehat tanpa ada keberpihakan pada golongan tertentu. Pasar yang membentuk harga secara alamiah. Khusus bagi perekonomian Indonesia, campur tangan pemerintah dapat dilakukan. “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi”.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai berbagai larangan bagi tindakan yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dari kegiatan maupun perjanjian diatara para pelaku usaha salah satunya kartel. Menurut ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian Kartel terjadi antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya.1)
Proses Pembuktian dalam sebuah indikasi pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 yang dilakukan oleh KPPU adalah kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang bersumber pada kaidah-kaidah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Hukum Perdata yang dicari adalah kebenaran formil. Pencarian kebenaran materiil untuk membuktikan bahwa adanya akibat dari persaingan usaha tidak sehat tersebut, diperlukan keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.2)
Keyakinan itu didapat dengan cara memastikan kebenaran atas laporan dan inisiatif KPPU atas dugaan terjadinya praktek kartel dengan cara melakukan penelitian, pengawasan, penyelidikan, dan pemeriksaan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Pasal 42 disebutkan ada lima alat bukti yang dapat digunakan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha yaitu; keterangan saksi, keterangan ahli,surat dan atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha. Dalam KUHAP dan HIR alat bukti langsung tersebut diajukan masing-masing dalam Pasal 184 dan 164.3)
Terdapat beberapa permasalahan yang timbul dengan penggunaan Indirect Evidence dalam indikasi kartel. Dalam pedoman pasal 11 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan usaha disebutkan bahwa “KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti”.4)Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa satu alat bukti cukup untuk menindaklanjuti laporan ataupun dugaan adanya indikasi kartel. Hal ini bertentangan dengan Hukum acara pidana. Hukum pidana menyatakan “satu bukti bukan bukti” (unus testis nullus testis). Minimal alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu dua alat bukti. Ketidaksesuaian hukum pembuktian antara ketentuan pembuktian yang ada dalam hukum acara pidana dan hukum persaingan usaha yang kemudian menjadikan latar belakang penulisan makalah.5) Hukum acara pidana menggunakan Direct Evidence sebagai bukti utama dalam hukum acara pidana, sedangkan Indirect Evidence yang menjadi dasar utama pembuktian di dalam hukum persaingan usaha. Penulis merasa tertarik meneliti permasalahan ini dalam suatu penelitian dikarenakan ketidaksesuaian sistem pembuktian antara hukum acara pidana, hokum acara perdata dan hukum acara persaingan usaha ini yang kemudian menjadikan penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan dalam makalah yang berjudul “Penggunaan Indirect Evidence Oleh KPPU Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktek Kartel Di Indonesia”.
B. Permasalahan
Dari uraian pada latar belakang tersebut di atas, ada beberapa permasalahan yang dihadapi penulis, diantaranya adalah :
1. Bagaimanakah penggunaan Indirect Evidence dalam proses pembuktian menurut sistem pembuktian di Indonesia?
2. Bagaimana penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU dalam membuktikan adanya dugaan kartel di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penggunaan Indirect Evidence dalam proses pembuktian menurut sistem hukum pembuktian di Indonesia
Indonesia dalam sistem hukum pembuktian hukum acara pidana menganut sistem menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian conviction in time, artinya salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Terdapat beberapa macam jenis hukum acara di pengadilan secara umum yang ada di Indonesia untuk membuktikan suatu perkara di persidangan. Hukum acara yang dimaksud disini adalah Hukum acara Pidana, hukum acara perdata, hukum acara persaingan usaha. Hukum acara pidana secara khusus diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana, hukum acara perdata secara khusus diatur dalam Kitab Hukum acara perdata atau HIR dan Hukum acara Persaingan Usaha diatur dalam peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Perkom) Nomor 1 tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
Terdapat perbedaan-perbedaan antara penggunaan pembuktian menurut hukum acara persaingan usaha, hukum acara perdata, dan hukum acara pidana. Pembuktian adalah suatu tahapan di dalam hukum untuk meneliti kebenaran atas suatu perkara hukum. Fokus penulis dalam perbedaan ini terletak pada penggunaan alat bukti tidak langsung pada hukum persaingan usaha terhadap hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Hukum acara pidana secara tegas mengatur dalam pasal 184 KUHAP “alat bukti yang sah, yaitu: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa”. Hukum pembuktian di dalam sistem hukum acara pidana tidak dikenal adanya alat bukti langsung dan tidak langsung.
Di sisi lain hukum acara perdata dalam pasal 164 HIR menyebutkan alat bukti yang sah, yaitu: bukti surat; bukti saksi; sangka; pengakuan; sumpah. Pengelompokkan bukti tidak langsung dan bukti langsung dijelaskan dalam buku M. Yahya Harahap sebagai berikut: “Disebut bukti langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan”. “…..Pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan”.6) Dilihat dari bentuk fisik tersebut maka yang menjadi alat bukti tidak langsung menurut hukum acara perdata yaitu persangkaan, pengakuan dan sumpah. Bentuk fisik ketiga alat bukti tidak langsung ini dapat dikatakan sebagai suatu kesimpulan dari hak atau peristiwa yang terjadi di persidangan.Secara umum istilah Indirect dan Direct Evidence tidak begitu akrab dalam lingkungan fakultas Hukum. Baik Kitab hukum acara pidana, Kitab hukum acara perdata tidak mencantumkan kedua istilah tersebut.
Penggunaan Indirect Evidence sebagai alat bukti permulaan pada praktiknya seringkali terjadi pembatalan pada putusan KPPU. Putusan KPPU secara praktek dapat dilakukan banding. Banding dapat dilakukan apabila terdapat ketidakpuasan atas hasil putusan yang dijatuhkan oleh KPPU. Pengajuan keberatan ini boleh diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sesudah menerima pemberitahuan putusan tersebut. “Sebagai lembaga negara pembantuan yang sifatnya menjalankan fungsi pemerintahan yang lainnya, yaitu dalam bidang pengawasan persaingan usaha, Putusan KPPU dapat dilakukan banding ke Pengadilan Negeri”.7)Pengadilan Negeri dalam beberapa kasus membatalkan putusan KPPU atas dugaan pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 baik perkara kartel maupun diluar perkara kartel.
B. Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU dalam membuktikan
adanya dugaan kartel di Indonesia
*) Unsur Kartel
Kartel pada dasarnya adalah suatu perjanjian yang dilakukan pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya untuk meniadakan persaingan diantara mereka. Biasanya kartel dilakukan dengan cara mengatur produksi, distribusi dan harga. Kartel dalam pasal 11 Undangundang Nomor 5 tahun 1999 menetapkan, bahwa:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan parapesainganya untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999 dapat dijabarkan melalui unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur Pelaku Usaha
b. Unsur perjanjian
c. Unsur pelaku usaha pesaingnya
d. Unsur bermaksud mempengaruhi harga
e. Unsur mengatur produksi dan atau pemasaran
f. Unsur barang
g. Unsur jasa
h. Unsur dapat mengakibatkan praktek monopoli
i. Unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Dilihat dari Pasal 11 tersebut penggunaan kata “….dapat mengakibatkan….” KPPU menggunakan pendekatan Rule of Reason.
Rule of Reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.8)Menurut hukum Persaingan Usaha, alat-alat bukti dalam proses investigasi dapat dibedakan menjadi dua. Pertama bukti langsung. Bukti langsung adalah “bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha…”. Kartel merupakan suatu kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha sejenis. Kesepakatan atau perjanjian ini dapat berupa kesepakatan tertulis atau tidak tertulis yang secara jelas menerangkan materi kesepakatan. Kedua, bukti tidak langsung. Bukti tidak langsung adalah bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha, yang termasuk kedalam bukti tidak langsung tersebut adalah bukti komunikasi dan bukti ekonomi termasuk di antaranya bukti tidak langsung dapat ditemukan di statistik harga pasar, hasil analisis harga pasar, dan lain-lain.
*) Indikator Awal Terjadinya Kartel
Komisi membuat indikator awal untuk mengidentifikasi kartel di dalam pedoman Pasal 11 tentang kartel. Secara teori, ada beberapa faktor struktural maupun perilaku. Sebagian indikator awal dalam melakukan identifikasi eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu. Berikut merupakan cara bagi KPPU untuk melakukan upaya menemukan alat bukti dalam indikasi terjadinya kartel melalui metode analisis ekonomi: Beberapa diantaranya sebagai berikut:
*) Faktor struktural
a) Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan
b) Ukuran perusahaan
c) Homogenitas produk
d) Kontak multi pasar
e) Persediaan dan kapasitas produk
f) Keterkaitan kepemilikan
g) Kemudahan masuk pasar
h) Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan
i) Kekuatan tawar pembeli (buyer power).
Pembuktian Unsur Atas Pelanggaran UU No.5 Tahun 1999
Proses pemeriksaan di KPPU selama ini adalah adalah proses pembuktian unsur-unsur yang diminta oleh pasal tertentu dalam Undang-undang.
Sebagai contoh bagaimana membuktikan terjadinya pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Pasal 5 menyatakan (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah:
Unsur pelaku usaha. Apakah pelaku usaha yang dimaksud memenuhi unsur atau tidak maka pelaku usaha tersebut haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 5 yang menyatakan:
Pelaku usaha adalah setiap orang atau perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wialyah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Kita harus melakukan pengujian apakah pelaku usaha yang sedang diperiksa memenuhi ketentuan ini atau tidak. Misalnya jika pelaku usaha tersebut didirikan dan berkedudukan bukan di wilayah Republik Indonesia, dan pelaku usaha tersebut tidak melakukan kegiatan di Indonesia tentu tidak memenuhi unsur pelaku usaha. Ketentuan sebaliknya akan berlaku jika perusahaan tersebut didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wialyah hukum negara Republik Indonesia.
Unsur membuat perjanjian. Harus dibuktikan ada perjanjian atau tidak. Hanya undang-undang tidak memberikan batasan apakah perjanjian tersebut tertulis atau tidak tertulis. Karena itu kami memahami bahwa perjanjian tersebut bisa tertulis atau tidak tertulis. Jika memang ada perjanjian yang tertulis maka pembuktiannya lebih mudah, tetapi jika perjanjian bersifat tidak tertulis maka pembuktiannya cukup rumit.
Unsur pelaku usaha pesaingnya. Perjanjian tersebut harus dilakukan dengan pelaku usaha pesaingnya. Jika perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku usaha yang bukan pesaingnya maka tentu tidak memenuhi unsur yang diminta.
Unsur menetapkan harga barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggan. Perjanjian tersebut harus memuat ketentuan tentang kepakatan menetapkan harga barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan. Jika perjanjiannya bukan untuk menetapkan harga barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan perusahan-perusahaan tersebut maka juga tidak memenuhi unsur yang dimintakan.
Unsur pasar bersangkutan yang sama. Istilah yang sering digunakan adalah relevan market, pasarnya haruslah sama dimana perusahaan-perusahaan tersebut melakukan persaingan, misalnya wilayah geografisnya sama, atau wilayah demografisnya sama, atau sasaran pasarnya sama. Jika pasarnya berbeda tentu tidak memenuhi unsur tersebut.
Seluruh unsur-unsur tesebut harus dipenuhi, jika ada salah satu unsur tidak terpenuhi dengan sendirinya tidak dapat dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran. Dalam pasal ini tidak diperlukan pembuktian apakah perjanjian tersebut membawa dampak postif atau negatif. Pasal ini merupakan sebuah pelarangan yang sangat keras terhadap perjanjian penetapan harga (price fixing). Price fixing merupakan pasal perse illegal yang umumnya diterapkan di berbagai negara yang memiliki undang-undang anti monopoli.
Bagaimana membuktikan pelanggaran Pasal 27? Pasal 27 huruf a menyatakan: Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu…
Unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah:
Pelaku Usaha: Pengertian pelaku usaha dinyatakan Pasal 1 angka 5 sebagaimana diuraikan dalam pembahasan Pasal 5 di atas. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Apakah unsur pelaku usaha terpenuhi atau tidak maka harus diuji dengan ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 ini.
Unsur memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis. Yang dimaksud memiliki saham mayoritas adalah memiliki saham 50% lebih (atau 50% plus 1), pada beberapa perusahaan sejenis. Artinya perusahaan tersebut memiliki dua perusahaan atau lebih dan pada masing-masing perusahaan ia bertindak sebagai pemegang saham mayoritas. Jika tidak demikian maka unsur ini tidak terpenuhi.
Unsur melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama. Bidang usahanya sama dan pasarnya harus sama pula. Misalnya bidang usahanya telekomunikasi. Lantas apakah fixed line sama dengan celluler, dan sama dengan CDMA? Kalau kita lihat fakta di lapangan antara ketiga telah terjadi persaingan yang ketat, dengan derajad substitusi yang sangat kuat. Sehingga boleh dibilang ketiganya bersaing. Lantas pasarnya yang mana? Apakah Jawa saja, luar Jawa atau Indonesia. Harus ada pendefinisian yang jelas mengenai hal ini.
Unsur mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama. Yang termasuk dalam hal ini adalah mendirikan dua atau lebih perusahaan, dan perusahaan tersebut haruslah memiliki kegiatan usaha yang sama, dan pasarnya adalah sama. Pemahaman saya mengenai hal ini sama dengan unsur melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama. Yang membedakan adalah perusahaan tersebut harus mendirikan bukan sekedar sebagai pemegang saham.
Unsur yang menyatakan barang satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis atau jasa tertentu, memerlukan pembuktian melalui suatu perhitungan ekonomi yang valid menganai pangsa pasar. Yaitu apakah satu perusahaan yang dimiliki atau didirikan tersebut memiliki pangsa pasar diatas 50%, atau dua perusahaan atau beberapa perusahaan secara berkelompok memiliki pangsa pasar diatas 50%? Jika perhitungan pangsa pasar memang di atas 50% maka unsur pangsa pasar ini terpenuhi dan sebaliknya.
Untuk dapat mengambil putusan bahwa pelaku usaha melanggar ketentuan Pasal 27 tersebut maka seluruh unsur-unsur tersebut harus terpenuhi. Jika tidak terpenuhi maka pelaku usaha tersebut dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran.
C. Analisa Kasus Dugaan Pelanggaran Pasal 27 Pada Industri
Telekomunikasi
Isu yang sedang ramai diperdebatkan di publik saat ini tentang industri telekomunikasi adalah dugaan adanya pemilikan silang oleh Singapore Technology Telemedia (STT) suatu perusahaan investasi dari Singapura yang diduga melakukan kepemilikan silang di PT Indosat PT Telkomsel sehingga berpotensi melanggar Pasal 27 Undang-Undang No 5 Tahun 1999. Pengujian tentang hal itu mestinya dilakukan dengan analisa unsur-unsur sebagaimana diuraikan di atas.
Kesimpulan saya sementara dari berbagai informasi yang ada tampaknya tidak akan dapat dibuktikan terjadinya pelanggaran Pasal 27 oleh STT.
Alasan pertama, karena STT adalah badan hukum yang didirikan di Singapura dan tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia sehingga unsur pelaku usaha sebagaimana diminta Pasal 1 huruf 5 tidak terpenuhi. Pasal 1 huruf 5 UU No 5 tahun 1999 menyatakan: Pelaku usaha adalah setiap orang atau perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wialyah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Kedua bahwa STT bukan pemegang saham langsung di Indosat, dan terhadap Telkomsel, STT sama sekali tidak ada hubungan dan keterkaitan kepemilikan saham. Dengan fakta yang demikian ini tidak dapat dibuktikan bahwa STT melakukan kepemilikan silang di dua perusahaan yaitu di Indosat dan Telkomsel.
Ketiga, pemegang saham PT Indosat adalah Indonesia Communication Limited (ICL) dan Indonesia Communication Pte. sebesar sekitar 41%, sisanya pemerintah Indonesia dan publik. Sehingga ICL dan IC Pte. kalaupun bersama-sama bukanlah pemegang saham mayoritas. Disamping itu ICL maupun IC ltd. bukan pemegang saham dari PT Telkomsel, pembuktian mengenai kepemilikan silang oleh ICL maupun IC Ltd. tampaknya juga sulit dilakukan.
Dengan demikian menurut pendapat penulis unsur pemegang saham mayoritas dan kepemilikan silang tidak terpenuhi. Pengertian kepemilikan saham mayoritas adalah pemilikan saham yang melebihi 50%.
Kasus serupa pernah diperiksa oleh KPPU pada bulan April 2003 tentang Cineplex Group 21, pada waktu itu terdapat perusahaan diduga melanggar Pasal 27 karena memiliki saham mayoritas diatas 50% di dua perusahaan, dan perusahaan-perusahaan tersebut menguasai pangsa pasar diatas 50%. Perusahaan tersebut dinyatakan melanggar Pasal 27 dan diperintahkan untuk mengurangi kepemilikan saham mayoritasnya. Kasus Cineplex memang terbukti kepemilikan silang dan mayoritas di atas 50% bahkan sekitar 90%, tetapi dalam kasus STT kondisinya berbeda, sebab unsur mayoritas kepemilikan saham tidak terpenuhi.
Alasan keempat, PT Telkomsel dimiliki oleh Singapore Telecom Mobile Pte Ltd (STM Pte Ltd) sebesar 35%, dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. 65%. STM Pte Ltd. bukan pemegang saham mayoritas di PT Telkomsel dan juga bukan pemegang saham di PT Indosat, karena itu unsur mayoritas dan unsur kepemilikan silang tidak terpenuhi.
Dengan tidak terpenuhinya berbagai unsur tersebut, pembuktian tentang terjadinya pelanggaran Pasal 27 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 kiranya akan sangat sulit untuk dilakukan.
Isu Kartel
Isu yang juga ramai di perdebatkan di media masa adalah adanya dugaan kartel pada industri telekomunikasi, antara lain ditengarai terjadinya price fixing. Beberapa studi yang dilakukan oleh perguruan tinggi ada yang menduga terjadi kartel, tetapi banyak juga yang mengatakan justru terjadi perang harga. Dalam industri yang strukturnya oligopoli memang ada dua kemungkinan ekstrim. Ekstrim yang pertama adalah terjadi kartel, dimana antar operator melakukan kesepakatan baik formal maupun terselubung (tacit collusion), misalnya untuk mengatur harga, produksi, wilayah pemasaran, atau wilayah pelanggan. Ekstrim kedua adalah terjadi perang harga atau price war. Perang harga terjadi diantara pesaing/operator untuk saling menurunkan harga dalam rangka mendapatkan pelanggan.
Terlepas dari kebenaran masing-masing studi tersebut, jika memang dugaannya adalah kartel, Pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku usaha semestinya bukan Pasal 27 tetapi bisa Pasal. 4, Pasal. 5, Pasal. 7, Pasal. 9, Pasal. 10, Pasal. 11, Pasal. 12, dan Pasal. 13. Pasal-pasal ini lebih relevan untuk menangkap kemungkinan terjadinya pelanggaran praktek kartel. Pasal 5 misalnya merupakan pasal yang melarang terjadinya price fixing atau penetapan harga secara bersama-sama. Pasal 5 menyatakan: Pelaku usaha dilarang membuat pejanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
Jika tujuannya adalah menjerat pelaku usaha karena diduga melakukan praktek price fixing, maka pasal yang relevan adalah Pasal 5, yang merupakan pasal perse. Menangkap price fixing dengan pasal 27 jelas tidak tepat. Pasal 4, Pasal 7 dan seterusnya adalah pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menangkap pelanggaran kartel yang lain, misalnya pengaturan produksi, pembagian wilayah dan bentuk kartel lainnya, pasal-pasal ini lebih bersifat rule of reason.
Dalam kaitan ini ada baiknya bila diminta kepada KPPU untuk memulai kembali penyelidikannya dari awal, untuk menemukan bukti-bukti terjadinya praktek kartel. Hal ini akan jauh lebih bermanfaat dari pada menggunakan pasal yang tidak relevan dengan resiko dibatalkan oleh pengadilan negeri atau Mahkamah Agung. Kalaupun tidak ada pihak yang melaporkan terjadinya pelanggaran, KPPU dapat menggunakan hak inisiatif dalam memeriksa pelaku usaha. Justru dengan hak inisiatif KPPU dapat lebih leluasa dari segi waktu, karena KPPU sebelum masuk ke pemeriksaan dapat terlebih dahulu melakukan monitoring yang waktunya cukup panjang.9)
Lebih-lebih saat ini diduga terjadi banyak cacat hukum dalam proses pemeriksaan di KPPU. Pelanggaran dalam hukum acara adalah titik yang sangat kritis pada saat perkara diperiksa oleh pengadilan negeri dan Mahkamah Agung. Karena hukum acara dan penerapan hukum memang menjadi fokus di lembaga peradilan tersebut. Jika terjadi cacat prosedur selama pemeriksaan di KPPU maka kemungkinannya pokok perkara tidak diperiksa, dan putusan KPPU dibatalkan. Kalau hal itu sampai terjadi sungguh sangat disayangkan, kerja yang sudah makan banyak anggaran berakhir dilorong buntu. Karena itu akan sangat bermanfaat jika KPPU mengubah kasus ini menjadi perkara inisiatif sehingga jangka waktu pemeriksaan menjadi lebih panjang dan lebih leluasa.
Kartel akan lebih mudah terjadi jika jumlah perusahaan yang tergabung tidak banyak. Oleh Karena akan lebih mudah untuk melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap para pelaku usaha yang tergabung dalam kesepakatan untuk melakukan kartel. Pendiri dan pelopornya adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Biasanya koordinasi kartel dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kuasa atas pasar yang dimainkan dalam kartel semisal dalam pasar kelompok minyak goreng. Pelaku-pelaku usaha dengan modal yang tinggi serta keunggulan atas penguasaan pasar menjadikan beberapa perusahaan yang memiliki banyak anak perusahaan yang juga bergerak dibidang yang sama memiliki kecendrungan untuk menguasai/mengendalikan pasar. Selain itu perusahaan yang memiliki modal tinggi dapat dengan mudah melakukan penguasaan pasar bersangkutan dikarenakan ketidakmampuan pesaing dalam bersaing di pasar bersangkutan.
Produk hasil dari para pelaku usaha sifatnya homogenitas/sejenis. Jikalau produk yang dimainkan adalah suatu produk yang memiliki karakteristik yang memiliki kecendrungan sama maka akan mudah melakukan kartel. Istilahnya produk yang dimainkan adalah sejenis. Pemasaran yang luas akan menyebabkan para pelaku usaha berkolaborasi walaupun tidak terdapat insentif atas perbuatan pelaku usaha tersebut. Kolaborasi ini dimungkinkan untuk menguasai pasar dan mengendalikannya demi keuntungan terbesar yang dapat diperoleh oleh pelaku usaha.
Pasokan barang yang beredar dipasaran overstock atau jumlah penawaran lebih tinggi dibandingkan permintaan menjadikan pelaku usaha mudah terperangkap untuk menyepakati harga atas barang tersebut. Tingginya tingkat persaingan menyebabkan masing-masing para pelaku usaha meningkatkan produktivitas baik produksinya distribusi maupun hasil akhir dari barang/jasa. Semua itu dilakukan untuk menarik konsumen untuk membeli barang/jasa dari pelaku usaha. Kondisi tersebut merupakan kondisi normal dalam sebuah persaingan. Namun kecurangan pelaku usaha oleh karena tingginya tingkat persaingan diantara mereka menjadikan pelaku usaha tidak ingin menerima kerugian dari kemungkinan kelebihan pasokan barang ataupun kesulitan mencari pembeli di dalam pasar. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan para pelaku usaha secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan kesepakatankesepakatan kartel.
Pasokan barang yang beredar dipasaran overstock atau jumlah penawaran lebih tinggi dibandingkan permintaan menjadikan pelaku usaha mudah terperangkap untuk menyepakati harga atas barang tersebut. Tingginya tingkat persaingan menyebabkan masing-masing para pelaku usaha meningkatkan produktivitas baik produksinya distribusi maupun hasil akhir dari barang/jasa. Semua itu dilakukan untuk menarik konsumen untuk membeli barang/jasa dari pelaku usaha. Kondisi tersebut merupakan kondisi normal dalam sebuah persaingan. Namun kecurangan pelaku usaha oleh karena tingginya tingkat persaingan diantara mereka menjadikan pelaku usaha tidak ingin menerima kerugian dari kemungkinan kelebihan pasokan barang ataupun kesulitan mencari pembeli di dalam pasar. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan para pelaku usaha secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan kesepakatankesepakatan kartel.
Keterkaitan minoritas terlebih lagi mayoritas mendorong pelaku usaha untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku diantara perusahaan yang mereka kendalikan. Pelaku usaha minoritas sudah tentu mengikuti arah pasar oleh karena ketidakmampuan didalam bersaing dari para pelaku usaha mayoritas. Hal ini demi memaksimalkan keuntungan bagi para pelaku usaha. Selain itu inelastisnya permintaan dan kestabilan pertumbuhan memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kartel karena dapat dengan mudah diprediksikan tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan para pelaku usaha. Ketidakberpengaruhnya harga atas permintaan pasar menjadikan pelaku usaha juga dengan tenang melakukan perjanjian kartel. Pembeli akan tetap membeli/memakai produk walaupun dengan harga yang tinggi oleh karena kebutuhan dan tidak tersedianya barang substitusi atau pengganti atas barang/jasa yang dibutuhkan konsumen.
Indikator struktural terakhir dalam mendeteksi awal terjadinya kartel yaitu kekuatan tawar pembeli. Pembeli yang memiliki posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan sistem perkartelan karena pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok dalam harga rendah sehingga kartel dengan sendirinya dapat bubar disebabkan ketidakpatuhan atas kesepakatan kartel dan ketidakefektifan aturan kartel diantara para pelaku usaha tersebut. Pelemahan kartel ini dapat terjadi oleh karena kuatnya pengaruh pembeli atas daya tawar suatu barang. Pelaku usaha akan lebih sulit melakukan koordinasi dan penyesuaian harga akan barang/jasa mereka. kesepakatan-kesepatan yang telah ada dapat dengan sendirinya menjadi tidak efektif.
*) Faktor Perilaku
a) Transparansi dan pertukaran informasi
b) Peraturan harga dan kontrak
Kartel dapat dideteksi dengan cara melihat perilaku dari para pelaku usaha yang saling memberikan informasi dan transparansi diantara mereka. Biasanya para pelaku usaha berusaha untuk menyimpan hal-hal yang menjadi rahasia keberhasilan perusahaan dalam mendapatkan pembeli/konsumen. Namun dalam kartel tidak diperlukan cara khusus untuk mendapatkan konsumen/pembeli. Oleh karena ketidakhadiran dari persaingan yang sesungguhnya diantara pelaku usaha menjadikan pelaku usaha merasa aman akan laba dari perusahaan. Peran asosiasi biasanya juga penting dalam hal pertukaran informasi. Asosiasi dapat digunakan sebagai media yang mengatasnamakan asosiasi namun didalamnya terdapat pertukaran informasi dan transparansi harga, jumlah produksi dan pemasaran. Tindakan yang menurut KPPU merupakan hal yang melanggar ketentuan dari UU No. 5 tahun 1999 dapat disamarkan oleh adanya pertemuan-pertemuan yang mengatasnamakan asosiasi dagang.
Oleh karena itu, KPPU harus berhati-hati dalam menentukan apakah memang terjadi kesepakatan atau tidak. Pembuktian adanya kesepakatan harus meyakinkan Perilaku lainnya yaitu peraturan harga dan kontrak yang patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel. Peraturan tentang harga dan kontrak bahwa benar adanya telah terjadi kesepakatan diantara pelaku usaha untuk melakukan penetapan harga atau perjanjian akan itu yang harus dilakukan penyelidikan dan pembuktian. Perjanjian dapat melalui alat bukti tertulis maupun tidak tertulis. Alat bukti tertulis ini berupa surat ataupun dokumen sedangkan perjanjian tidak tertulis ini dapat melalui bukti komunikasi, bukti adanya pertemuan-pertemuan.
Kesepakatan tersebut pada umumnya dilakukan secara tertutup atau diam-diam, sehingga seringkali KPPU menghadapi kesulitan dalam mengungkap dan membuktikan adanya kartel. Apalagi, “KPPU tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan atau penyitaan dokumen terkait kesepakatan tersebut”. Jadi kartel yang dilakukan secara diam-diam ini dapat diketahui dengan melakukan serangkaian kegiatan penelusuran secara metode analisis ekonomi. Variable-variabel, daftar-daftar harga, kinerja perusahaan, laporan keuangan dan seluruh unsur kegiatan perusahaan akan ditelusuri oleh KPPU.
Data-data perusahaan tersebut kemudian dianalisis apakah benar ada pelanggaran kartel maupun pelanggaran terhadap UU No. 5 tahun 1999. Jikalau telah terbukti atas hasil penyelidikan melalui analisis ekonomi ini KPPU berupaya untuk mendapatkan serangkaian alat bukti lainnya. Oleh karena alat bukti tidak langsung tidak dapat digunakan sebagai alat bukti satu-satunya. Perkembangan selanjutnya apabila tidak ditemukan alat bukti lain yang dapat menyatakan bahwa para pelaku usaha tersebut bersalah maka jikalau sudah pada tahap pemeriksaan lanjutan maka putusan KPPU akan memberikan putusan tidak bersalah seperti halnya putusan tentang perkara semen dengan putusan perkara nomor 1/KPPU-I/2010. Perkara Terkait dugaan adanya kartel dalam industri semen di Indonesia ternyata tidak terbukti. Dasar pertimbangan yang menyebabkan KPPU memutuskan bahwa tidak terjadinya dugaan praktek pelanggaran pasal 11 tentang kartel berdasarkan hal berikut:
1. Tidak terdapat dampak yang merugikan bagi negara dan
konsumen;
konsumen;
2. Tidak terdapat perbedaan harga yang signifikan ditingkat pabrik
dan tingkat ritel;
dan tingkat ritel;
3. Tidak adanya bukti bahwa telah terjadi pengaturan pasokan.
Kartel menjadi sulit dideteksi karena pada faktanya perusahaan yang berkolusi berusaha menyembunyikan perjanjian diantara mereka dalam rangka menghindari hukum. Jarang sekali dan naïf tentunya apabila pelaku usaha secara terang-terangan membuat perjanjian diantara mereka, membuat dokumen hukum, mengabadikan pertemuan, serta mempublikasikan perjanjian untuk melakukan suatu pelanggaran hukum. Dari hasil analisis kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terdapat pendekatan ekonomi sebelum memulai penyelidikan dan metode secara ekonomi yang digunakan KPPU untuk memeriksa kasus kartel.
*) Pemilihan pendekatan ekonomi untuk memulai penyelidikan
*) Pemilihan pendekatan ekonomi untuk memulai penyelidikan
Penyelidikan ini memiliki beberapa metodologi pendeteksian
kartel sebagai berikut:
1) Metodologi dengan seleksi random;
2) Metodologi yang bergantung pada indikator individu;
3) Metodologi yang otomatis (an automated methodology);
4) Metodologi menitoring pasar secara permananen.\
*) Metode secara ekonomi
1) Metodologi dengan seleksi random;
2) Metodologi yang bergantung pada indikator individu;
3) Metodologi yang otomatis (an automated methodology);
4) Metodologi menitoring pasar secara permananen.\
*) Metode secara ekonomi
Terdapat dua metode secara ekonomi yang juga biasa ditemukan didalam literature, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down menyaring beberapa sektor untuk mengidentifikasi industri yang cenderung kolusi.
Metode analisis ekonomi ini ada untuk menganalisis pembuktian kartel dengan menggunakan alat bukti tidak langsung atau indirect evidence. Penggunaannya dengan membuktikan adanya hubungan-hubungan antara fakta ekonomi satu dengan fakta ekonomi lainnya. Terlihatlah sebuah bukti kartel yang utuh sampai dengan jumlah kerugian yang diderita masyakat.
Kartel tidak hanya dapat merugikan konsumen secara materiil.Lebih jauh lagi akibat dari kartel dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat. Selain itu kartel dapat menyebabkan tidak bekerjanya sumber-sumber daya baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya secara efisien/berdaya
guna penuh.
guna penuh.
Penjelasan mengenai bagaimana kartel dapat terjadi, dalam situasi apa dan akibat apa yang dapat ditimbulkan dari kartel dibawah ini penulis memberikan dua buah contoh putusan yang menggunakan bukti tidak langsung sebagai alat bukti tambahan penguat dari alat-alat bukti lainnya. Putusan dengan nomor 25/KPPU-I/2009 untuk perkara Penetapan Harga Fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestik Indonesia atau yang biasa dikenal dengan putusan Fuel Surcharge. Putusan nomor24/KPPU-I/2009 untuk putusan Industri minyak goreng sawit di Indonesia atau biasa dikenal dengan putusan minyak goreng.
Analisis putusan
1. Putusan Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 Tentang Penerapan Harga Fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestikIndonesia
Dalam kasus ini yang digunakan KPPU sebagai alat bukti tidak langsung atau Indirect Evidence yaitu hasil analisis terhadap hasilpengolahan data yang mencerminkan terjadinya keuntungan yang banyak disertai ketidakwajaran. Oleh karena keuntungan tersebut ada bukan karena perusahaan melakukan efisiensi teknologi, sumberdaya maupun kinerja dari sistem diperusahaan maskapai penerbangan tersebut. Melainkan dari hasil analisis grafik, tabel uji korelasi dan uji varians menunjukkan adanya trend dan variasi yang mengarahkan pada suatu kesimpulan bahwa telah terjadi kesepakatan penetapan besaran harga fuel surcharge diantara para pelaku usaha maskapai penerbangan tersebut.
2. Putusan perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 Tentang Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Pada putusan ini yang menjadi alat bukti tidak langsung yaitu Berikut adalah bukti tidak langsung yang menjadi alat buktiawal dilakukannya penelitian atas dugaan adanya kartel diantara pelaku usaha produsen minyak goreng curah dan kemasan yang ditemukan selama tahap pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan, yaitu sebagai berikut:
*) Bukti Komunikasi (communication evidence)
Pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi;
*) Bukti ekonomi (economic evidence);
Berikut bukti ekonomi yang terdapat pada putusan ini yaitu struktur pasar terkonsentrasi, Produk yang dihasilkan mempunyai karekteristik yang sama, price parallelism, market leader, permintaan berisfat inelastis, tingkat kesulitan memasuki pasartinggi.
*) Facilitating practices
Fasilitas informasi yang dilakukan yaitu melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Hukum acara perdata maupun hukum acara pidana tidak mengenal pengelompokan istilah alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung. Alat bukti tidak langsung dan alat bukti langsung dikenal dalam hukum acara persaingan usaha. Menurut KPPU dalam hukum acaranya bahwa alat bukti tidak langsung dikelompokkan dalam alat bukti petunjuk. Selain itu, baik hukum acara pidana, hukum acara perdata maupun hukum persaingan usaha, ketiganya sama-sama mengatur minimal alat bukti yaitu 2 (dua alat bukti yang harus dihadirkan dalam persidangan. Penggunaan alat bukti tidak langsung berupa metode analsis ekonomi dan bukti komunikasi sebagai bukti pertama pada tahap pemeriksaan pendahuluan oleh KPPU. Selanjutnya untuk masuk pada tahap pemeriksaan lanjutan hingga putusan tetap diperlukan alat bukti lainnya berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen dan keterangan pelaku usaha.
2. Kartel adalah suatu bentuk perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih pelaku usaha sejenis, dengan maksud untuk mengendalikan produksi, harga dan wilayah pemasaran. Kartel dalam pasal 11 Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan tidak sehat masuk kedalam Rule of Reason. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kartel berdampak secara khusus kepada konsumen sebagai penderita kerugian secara langsung dan negara sebagai penderita kerugian secara tidak langsung dan global. Bukti tidak langsung dapat digunakan analisis melalui beberapa cara. Diatur dalam Perkom No. 4 tahun 2010 dan salah satu jurnal dari Komisi Pengawas Persaingan usaha yang ditulis oleh Riris Munadiya dalam jurnal berjudul Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penanganan Kasus Persaingan Usaha. Menurut pengaturan dalam Peraturan Komisi No 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 UU No.5 tahun 1999 tentang bukti tidak langsung, yang dapat digunakan sebagai alat bukti tidak langsung yaitu melalui analisis ekonomi melalui faktor struktural dan faktor perilaku. Faktor struktural mencangkup tingkat konsentrsi dan jumlah perusahaan; ukuran perusahaan; homogenitas produk; kontak multi pasar; persediaan dan kapasitas produksi; keterkaitan kepemilikan; kemudahaan masuk pasar; karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan; kekuatan tawar pembeli. Sedangkan untuk faktor perilaku berdasarkan transparansi dan pertukaran informasi, dan peraturan harga dan kontrak. Dalam Penanganan Kasus Persaingan Usaha dikatakan bahwa alat bukti tidak langsung selain dengan penggunaan melalui analisis faktor structural dan faktor perilaku dilakukan dengan cara pendekatan ekonomi, dan metode secara ekonomi. Penggunaan alat bukti dengan metode analisis ekonomi ini telah dilakukan dalam contoh putusan No. 24/KPPU-I/2009 tentang Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan putusan No.25/KPPU-I/2009 tentang Penetapan Harga fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestic Indonesia.
B. Saran
Penulis memberikan beberapa saran untuk perbaikan pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia:
1. Pertentangan penggunaan Indirect Evidence masih hadir di kalangan akademisi baik dosen dan mahasiswa. Sebaiknya KPPU lebih menggiatkan sosialisasi tentang Indirect Evidence dan tata cara dan tahapan penggunaannya pada sistem pembuktian di KPPU dan kaitannya dengan sistem pembuktian di Indonesia.
2. Masih diperlukan sosialisasi terkait Tata Cara Penanganan Perkara yaitu Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 tahun 2010 tetantang tata Cara Penanganan Perkara jo. Perkom No. 1 tahun 2006.
3. Masih diperlukan pengaturan mengenai tata cara penanganan perkara yang lebih mendetail supaya jelas terlihat tahapan penggunaan indirect evidence oleh KPPU.
Daftar Pustaka
Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya, Jakarta, ELIPS. 1999.
Buku Ajar KPPU, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (online),2009, hal. 55, http://www,kppu,go,id/id/publikasi/buku_ajar/ (diakses 23 Mei 2014).
Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33Tahun 1999, Tambahan-lembaran-negara Nomor Tambahan Pengumuman 3817).
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Norman S. Pakpahan, Pokok-pokok pikiran tentang Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: ELIPS, 1994).
1) Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tahun 1999, Tambahan-lembaran-negara Nomor Tambahan Pengumuman 3817), Pasal 11.
3)Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha TidakSehat., Pasal 42.
7) Buku Ajar KPPU, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (online),2009, Hlm, 55, http://www,kppu,go,id/id/publikasi/buku_ajar/ (diakses 23 Mei 2014).
9) Norman S. Pakpahan, Pokok-pokok pikiran tentang Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: ELIPS, 1994), hal. 34.