tes 13

sadf

tes 12

sadf

tes 11

sadf

tes 10

sdfa

tes 9

sfd

tes 8

s

tes 7

sdaf

tes 6

asdf

tes 5

sdf

tes 4

dsf

tes3

tes2

sss

tes 1

sd

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SANKSI PIDANA BAGI PERBUATAN MEMPERJUALBELIKAN SATWA LANGKA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 0106/PID.SUS/2010.PN.DPS)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SANKSI PIDANA BAGI PERBUATAN MEMPERJUALBELIKAN SATWA LANGKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 0106/Pid.Sus/2010.PN.DPS)

Oleh :
Sabungan Sibarani 1)

Abstract
Endangered species that are difficult to find in their natural habitat because the population is almost extinct makes the government issued regulations for the protection of endangered species and extinction. It was marked by the publication of Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems. The problem faced in this research is how to setup the crime of illegal trade of protected wildlife? and whether the Denpasar District Court No.0106 / Pid.Sus / 2010.PN.DPS compliance with applicable regulations? The method used is normative research with secondary data and qualitative analysis. The results of the study soon is setting endangered species, other than stipulated in Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems also regulated in PP No. 7, 1999 on the types of plants and animals are protected and Article 56 of Regulation No. 8 of 1999 on the Utilization of Wild Plants and Animals. Suitability Denpasar District Court judge's decision No. 016 / Pid.Sus / 2010.PN.DPS is filled with elements such as indicted article is subject to Article 21 paragraph (2) d of Article 40 paragraph (2) of Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems Jo Article 4 (2) PP No. 7 1999 about Types of Protected Plants and Animals and in accordance with Appendix List Number 224 is made ​​clear by Article 56 of Regulation No. 8, 1999, and subject to imprisonment for 4 (four) months, and set criminal defendant need not be undertaken unless there is a decision a judge later stated defendant commit a criminal act before it ends with a probationary period of 8 (eight) months

Keywords: Criminal Law, Criminal Penalties For Deeds trade in Endangered
                   species.

Abstrak
Satwa langka yang telah sulit ditemui di habitat aslinya karena populasinya hampir punah membuat Pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk perlindungan satwa langka dan kepunahannya. Hal itu ditandai dengan diterbitkannya Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana perdagangan illegal satwa liar yang dilindungi? dan apakah putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 0106/Pid.Sus/2010.PN.DPS telah sesuai dengan peraturan yang berlaku? Metode penelitian  yang digunakan adalah penelitian normatif dengan data sekunder dan dianalisa  secara kualitatif. Hasil penelitian adalah  pengaturan satwa langka, selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga diatur dalam PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan Pasal 56 PP RI No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Kesesuaian putusan hakim Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 016/Pid.Sus/2010.PN.DPS adalah denagn dipenuhi unsur-unsur seperti pasal yang didakwakan yaitu dikenakan Pasal 21 ayat (2) huruf d Pasal 40 ayat (2) UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 4 ayat (2) PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang  Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi dan sesuai dengan Daftar Lampiran Nomor Urut 224 yang diperjelas dengan Pasal 56 PP RI No. 8 Tahun 1999, dan dikenakan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, dan menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani terdakwa, kecuali dikemudian hari ada putusan hakim yang menyatakan terdakwa  melakukan perbuatan pidana sebelum berakhir dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan
Kata Kunci : Hukum Pidana, Sanksi Pidana Bagi Perbuatan Memperjualbelikan
                      Satwa langka.


A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman kekayaan alam didalamnya, diantaranya mempunyai berbagai macam satwa. Satwa-satwa tersebut tersebar keseluruh pulau-pulau yang ada di Indonesia. Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah ciri suatu pulau yang didiami satwa tersebut, karena ekosistem didalamnya mendukung akan perkembangbiakan satwa tersebut. Di Indonesia sendiri satwa-satwa tersebut sudah sangat langka untuk ditemui di habitat aslinya. Satwa-satwa langka tersebut diantaranya yang sudah jarang ditemui di tempat aslinya, seperti harimau Sumatera, badak bercula satu, anoa, burung Cendrawasih, gajah Sumatera, harimau Jawa, dan masih banyak lagi satwa-satwa yang hidup di daratan, perairan, dan di udara yang terancam punah.
Satwa langka yang telah sulit ditemui di habitat aslinya karena populasinya hampir punah, membuat Pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk perlindungan satwa langka dan kepunahannya. Hal itu ditandai dengan diterbitkannya Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yang mana Undang-undang ini menentukan pula kategori atau kawasan suaka alam dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta ekosistemnya.
Peraturan-peraturan  lainnya  yang  berhubungan  dengan  satwa selain Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, antara lain :
1.      Peraturan Pemerintah No.13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.
2.      Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan di Taman Hutan Raya.
3.      Peraturan Pemerintah No.68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Peraturan-peraturan tersebut di atas mengatur semua jenis satwa langka yang dilindungi oleh negara, baik yang dimiliki dimasyarakat maupun yang tidak dapat dimiliki oleh masyarakat, dikarenakan satwa langka tersebut sudah hampir punah, dihabitat aslinya sudah jarang ditemui. Dengan adanya Undang-undang No.5 tahun 1990 telah ditetapkan mana yang disebut satwa langka yang boleh dipelihara dan tidak boleh dipelihara oleh manusia.
Hal inilah yang membuat manusia ingin memiliki satwa untuk dipelihara, dimiliki demi kesenangan tersendiri. Itu semua tidak terlepas dari perilaku satwa itu sendiri yang mana satwa tersebut mempunyai daya tarik untuk dimiliki. Pada sekarang ini untuk memiliki satwa-satwa tersebut dapat ditemui, misalnya di pasar hewan yang mana banyaknya penjualan satwa-satwa langka yang dilindungi terdapat didaerah tersebut, serta dengan cara berburu dimana nantinya satwa yang diburu itu kebanyakan akan diawetkan diambil kulitnya dan bagian tubuh lainnya hanya untuk kesenangan dan keindahan bagi yang memilikinya.2
Pembangunan dengan lingkungan hidup memang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, baik dari segi rnanfaat maupun segi pengaruh negatif dari hasil sampingan yang diberikan secara bersamaan. Mengingat akan keterkaitannya tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia untuk dapat memperkecil dampak negatifnya agar tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Salah satu wujud usahanya adalah berupa penetapan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, seperti misalnya Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU Konservasi).
Manusia melakukan perburuan satwa liar pada dasarnya antara lain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman ataupun kebudayaan, maka perburuan satwa liar kini juga dilakukan sebagai hobi maupun kesenangan yang bersifat exklusif (memelihara satwa liar yang dilindungi, sebagai simbol status) dan untuk diperdagangkan dalam bentuk produk dari satwa liar yang dilindungi misalnya gading gajah.3
Perdagangan satwa liar yang dilindungi baik hidup maupun sudah mati (bagian-bagian tubuhnya) tidak hanya terjadi di wilayah Denpasar saja tetapi diseluruh wilayah Indonesia yang kemudian melatarbelakangi penulisan skripsi. Skripsi ini berusaha untuk membahas dan menguraikan segi-segi penegakkan hukum pidana terhadap perdagangan illegal satwa liar yang dilindungi, dan dikaji secara teoritis berdasarkan peraturan perundang-undangan terutama UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya termasuk juga penerapannya dalam praktik di pengadilan terhadap kasus perdagangan satwa yang dilindungi. 4
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi untuk melindunginya. Seperti misalnya di Taman Nasional Bali Barat sebagai kawasan konservasi sumber daya alam hayati yang harus dijaga dari tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan lain yang melanggar ketentuan Undang-Undang Konservasi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Akibat dari sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.5
Pemerintah melakukan pelestarian satwa liar dengan tujuan untuk mengendalikan bahaya dari ancaman kepunahan dan perdagangan gelap. Diantaranya dengan melakukan kerjasama dengan industri, pemerintah lain (provinsi), organisasi atau sektor swasta. Pengawasan lalu lintas peredaran satwa yang menjadi obyek komoditas perdagangan, sesuai dengan penetapan jatah penangkapan dan pengambilan di alam, dilakukan dengan cara menerbitkan Surat Angkut Satwa, baik untuk di dalam negeri maupun di luar negeri. Secara tegas diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.62/Kpts-ll/1998. Banyaknya satwa langka yang dipelihara, diperdagangkan yang sering ditemui di pasar hewan merupakan satwa yang tergolong, satwa yang dilindungi atau yang termasuk hampir punah.6 Sedangkan jenis satwa yang tidak dilindungi adalah jenis yang keberadaannya atau populasi masih memungkinkan untuk dimanfaatkan, termasuk diperdagangkan. Perilaku satwa ini yang banyak diperdagangkan, namun masyarakat tidak dapat membedakan satwa yang dilindungi dan yang tidak dilindungi. Kesemuanya itu dapat diketahui apabila ada izin yang mengatur tentang kepemilikan satwa yang dilindungi, ditetapkan oleh Departemen Kehutanan, Badan Konservasi Sumber Daya Alam.
Perilaku manusia ini yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan populasinya dihabitat asalnya. Kepunahan satwa langka ini dapat dicegah dengan ditetapkan periindungan hukum terhadap satwa langka yang dilindungi. Pencegahan ini bertujuan agar satwa-satwa langka yang hampir punah, hanya menjadi cerita bagi anak cucu klta nantinya karena keserakahan manusia dalam mengambil keuntungan dari yang diperolehnya. Kepunahan satwa langka ini bisa tidak terjadi apabila kita semua menjaga kelestanan alam, yang mana didalam terdapat populasi satwa serta ekosistem yang berada didalamnya, serta mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam atau perbuatan manusia sendiri. Satwa langka yang mengalami kepunahan sebaiknya tidak boleh dimiliki, ditangkap, diburu serta diperjualbelikan, hal ini untuk menjaga kelestanan satwa tersebut dari kepunahan yang disebabkan oleh manusia atau alam disekitarnya.7
Seperti tindak pidana memperjualbelikan satwa langka yang dilakukan oleh Yuli Sucahyo alias Yoyok, dimana perkara kejahatan bermula dari terdakwa mendapatkan kepala Kambing atau Giant Helmint Shell atau Cassis Cornuta dari pedagang ulakan dengan cara membeli seharga Rp 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah) perbuah, kemudian kerang kepala kambing ditempatkan atau di pajang di toko terdakwa di Jalan Raya Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Bandung, kemudian dijual kepada saksi Yenny Lesly dengan harga per buah Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) dan terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 225.000,- (dua ratus dua puluh lima ribu rupiah), pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2009 sekira pukul 11.30 wita saat petugas menemukan barang berupa kerang kepala kambing atau Giant Helmint Shell atau Cassis Cornuta di UD Top Cargo, saat petugas menanyakan kepada saksi Yenny Lesly atas keberadaan kerang tersebut, Dia mendapatkan kerang itu dari terdakwa dengan cara membeli dengan harga per buah Rp. 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) dengan jumlah keseluruhaan seharga Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah) tersebut diamankan untuk disita dan digunakan untuk barang bukti, dan memanggil terdakwa untuk diproses lebih lanjut, saat petugas menanyakan terdakwa tidak mempunyai surat izin dari pihak yang berwenang.

B.     Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan pada skripsi yang berjudul" Tinjauan Yuridis Terhadap Sanksi Pidana Bagi Pebuatan Memperjualbelikan Satwa Langka (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 0106/Pid.Sus/2010.Pn.Dps)". yaitu:
  1. Bagaimana pengaturan sanksi bagi perbuatan memperjualbelikan satwa liar yang dilindungi?
  2. Apakah Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 0106/Pid.Sus/2010. PN.DPS telah sesuai dengan peraturan yang berlaku ?



C.    Pembahasan
1.      Analisis Terhadap Pengaturan yang Mengatur Sanksi Pidana Bagi Perbuatan Memperjualbelikan Satwa Langka
Dalam Undang-undang Rl No. 5 Tahun 1990 antara lain mengatur tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut perlu ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah untuk menjamin kelancaran, ketertiban dan kelestarian sumber daya alam hayati dalam melaksanakan segala kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa. Dimana dalam hal ini, berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yaitu mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati tersebut untuk menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam memanfaatkan tumbuhan dan satwa selalu dipegang prinsip menghindari bahaya kepunahan dan atau menghindari penurunan potensi pertumbuhan populasi tumbuhan dan satwa liar.
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa dilakukan melalui bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obatobatan ataupun pemeliharaan untuk kesenangan.
Dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d, dijelaskan bahwa setiap orang dilarang untuk memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dan bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Juga Pasal 40 ayat (2) tentang ketentuan pidana "Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)   telah pas dikenakan pada terdakwa dalam kasus ini. Dimana terdakwa; Yuli Sucahyo alias Yoyok bahwa benar telah memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau satwa yang dilindungi atau bagian-bagian lain satwa yang di lindungi atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia berupa 15 buah kerang kepala kambing/Giant Helmit Shell/ Cassis Cornuta.
Perbuatan terdakwa Yuli Sucahyo alias Yoyok adalah memperjualbelikan satwa langka, sebagaimana di atur dalam Pasal 21 Ayat (2) huruf d Pasal 40 Ayat (2) UU Rl No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo pasal 4 (2) PP Rl No.7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhaan dan Satwa yang Dilindungi sesuai dengan Daftar Lampiran Nomor Urut 224, yang diperjelas dengan PP Rl No.8 Tahun 1999.
Pengaturan sanksi pidana bagi perbuatan memperjualbelikan satwa langka nampak jelas dan mengikat, diantaranya yang dengan sengaja memperjualbelikan kerang kepala kambing atau Giant Helmit Shell yang dilindungi sesuai dengan pasal 21 Ayat (2) huruf d pasal 40 ayat (2) UU Rl No.5 Tahun 1990 tentang konservasi tentang sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 4 Jo Pasal 4 (2) PP Rl No.7 Tahun 1999 tentang jenis-jenis tumbuhaan dan satwa yang dilindungi sesuai dengan daftar lampiran Nomor urut 224, yang diperjelas dengan PP Rl No.8 Tahun 1999. Dan hukuman pidananya adalah pidana 4 (empat) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak di bayar diganti dengan pidana kurungan 2 (dua) bulan.
Secara lengkap, ketentuan dalam Undang-Undang no.5 Tahun 1990 ini berbunyi:
  1. Barangsiapa dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
  2. Barang Siapa Dengan Sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2) huruf b), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
  3. Dengan Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

2.      Analisis Terhadap Kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 0106/Pid.Sus/2010.PN.DPS dengan Ketentuan yang Berlaku
Berdasarkan putusan hakim, bahwa terdakwa; YULI SUCAHYO alias YOYOK dikenakan Pasal 21 ayat (2) huruf d Pasal 40 ayat (2) UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 4 Yo (2) PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan sesuai dengan daftar lampiran nomor urut 224 yang diperjelas dengan Pasal 56 PP RI No. 8 tahun 1999, dan dikenakan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) denga ketentuan bahwa  apabila denda tersebut dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Dan menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani terdakwa, kecuali dikemudian hari ada putusan hakim yang menyatakan terdakwa melakukan perbuatan pidana sebelum berakhir dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan.
Dimana pertimbangan hukumnya dalam Pasal 56 PP Rl No. 8 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa ayat (1) Barangsiapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan ayat (2) (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan.
Dalam hal ini terdakwa benar-benar telah menyalahi aturan tentang perbuatan memperjualbelikan satwa langka yaitu 15 buah kerang kepala kambing/G/anf Helmit Shell! Cassis Comuta. Padahal spesies ini telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindnungi oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan tidak boleh diperjual-belikan oleh masyarakat umum.
Dalam Pasal 21 (2) huruf d Jo pasal 40 (2) UU Rl No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya Jo pasal 4 (2) PP Rl No.7 tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi sesuai dengan Daftar Lampiran No urut 224 yang diperjelas dengan PP Rl no 8 tahun 1999, serta pasal- pasal lain yang berkaitan dengan pasal-pasal dalam Peraturan perundangan-undangan lainnya dengan berkaitan dengan pasal dalam perkara ini,
      Pertimbangan hukum lainnya adalah adalah bahwa perdagangan satwa langka yang dilindungi pemerintah bila tidak ditangani secara sungguh-sungguh maka hewan yang dilindungi tersebut terancam kepunahan. Tingginya keuntungan yang dapat diperoleh dan kecilnya risiko hukum yang harus dihadapi oleh pelaku perdagangan ilegal tersebut. Padahal dalam undang-undang sudah diatur mengenai larangan baik memperjual-belikan satwa yang dilindungi maupun memelihara atau memiliki satwa langka yang dilindungi tersebut. Dalam undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dalam Bab V Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pasal 21 ayat (2)a menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Namun kenyataannya larangan yang ada dalam undang-undang ini tidak membuat para pelaku untuk memperjual-belikan satwa tersebut takut, malah satwa tersebut makin marak diperjual-belikan dan ada tempat yang khusus memperjual-belikan satwa yang dilindungi tersebut.
Perdagangan satwa dilindungi adalah melanggar UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa pelaku perdagangan satwa dilindungi dapat dijerat hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Meskipun sudah ada hukum yang melindungi satwa liar dari perdagangan ilegal, namun pada prakteknya perdagangan satwa liar masih terjadi secara terbuka di banyak tempat di Indonesia.
Perdagangan satwa liar tersebut menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa karena kebanyakan mereka hasil tangkapan dari alam. Hal ini akan membuat satwa liar asli Indonesia menjadi semakin terancam punah, apalagi ditunjang dengan habitat satwa liar yang kian menyempit dan menurun kualitasnya. Banyak pihak memandang sudah saatnya isu perdagangan satwa liar menjadi isu nasional, hal ini untuk memastikan agar semua aparat penegak hukum di Indonesia bisa bekerja lebih efesien dan terkoordinir dalam memerangi perdagangan satwa liar ilegal, kerang kepala kambing/G/anf Helm'rt Shelll Cassis Comuta.
Undang - Undang no 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur semua jenis satwa langka yang dilindungi oleh negara, baik yang dimiliki dimasyarakat maupun yang tidak dapat dimiliki oleh masyarakat. Perilaku manusia yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan populasinya dihabitat asalnya. Kepunahan satwa langka ini dapat dicegah dengan ditetapkan perlindungan hukum terhadap satwa langka yang dilindungi. Pencegahan ini bertujuan agar satwa-satwa langka yang hampir punah, hanya menjadi cerita bagi anak cucu kita nantinya karena keserakahan manusia dalam mengambil keuntungan dari yang diperolehnya. Kepunahan satwa langka ini bisa tidak terjadi apabila kita semua menjaga kelestarian alam, yang mana didalam terdapat populasi satwa serta ekosistem yang berada didalamnya, serta mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam atau perbuatan manusia sendiri. Satwa langka yang mengalami kepunahan sebaiknya tidak boleh dimiliki, ditangkap, diburu serta diperjualbelikan, hal ini untuk menjaga kelestarian satwa tersebut dari kepunahan yang disebabkan oleh manusia atau alam disekitarnya.
Dan tak terkalah penting, bahwa ada kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 0106/Pid.Sus/2010.PN.DPS dengan ketentuan yang beriaku, diantaranya adalah Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU Konservasi) PPRI No. 7 Tahun 1999 tentang jenis-jenis tumbuhan dan satwa PPRI No. 8 Tahun 1999. Dan dalam kaitan ini juga telah selaras atau sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan telah memenuhi unsur-unsur yang dimaksud, diantaranya adalah :
1.    Unsur: "setiap orang"
Menimbang bahwa unsur "setiap orang dilarang" terdiri dari kata setiap orang, kata setiap berarti siapa saja, semua tanpa kecuali, sedangkan kata orang menunjuk pada subyek hukum, bahwa pada setiap subyek hukum melekat erat kemampuan bertanggungjawab atau keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang secara tegas dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggungjawab. Jadi, pengertian barang siapa dalam perkara ini dihubungkan dengan fakta yang terungkap dipersidangan berdasarkan keterangan terdakwa, saksi-saksi atau serta dengan adanya barang bukti jelas terungkap fakta barang siapa adalah terdakwa YULI SUCAHYO alias YOYOK.
2.    Unsur: "dengan sengaja memperniagakan, menyimpan dan memiliki. Menimbang bahwa pengertian memperniagakan adalah menjualbelikan benda dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan saksi Putu Smartana Arya, Yenny Lesy, Made Ayu Ratna Sari, Rusmiaty serta pengakuan terdakwa sendiri, pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2009 pukul 11.30 wita bertampa di Ud Top Cargo Jalan Raya kerobokan No. 137 Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terdakwa telah menjual kerang kepala kambing kepada Yenny Lesy yang merupakan   satwa yang dilindungi oleh undang-undang karena unsur telah terpenuhi.
3.    Unsur: "kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut. Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sesuai dengan keterangan saksi ahli Fathur Rohman yang menerangkan bahwa kernag kepala kambing/G/anf Helmit shell adalah merupakan kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang diindungi dan dilarang untuk diperniagakan dan juga berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dalam berkas perkara ini dibenarkan oleh saksi dan terdakwa, karena unsur inipun telah terpenuhi. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka unsur-unsur dalam pasal dakwaan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh Terdakwa, sehingga kepada terdakwa harus dinyatakan pula terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "DENGAN SENGAJA MEMPERJUALBELIKAN KERANG KEPALA / GIANT HEMIT SHELL YANG DILINDUNGI".
Disisi lain, bahwa ada beberapa kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 0106/Pid. Sus/2010.PN.DPS dengan Ketentuan yang berlaku, diantaranya adalah PP RI No. 7 Taghun 1999 tentang Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sesuai dengan daftar lampiran Nomor urut 224, yang diperjelas dengan PPRI No. 8 Tahun 1999 dan unsur-unsur yang disebutkan di atas juga telah terpenuhi.

D.    Penutup
1.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.       Pengaturan tindak pidana perdagangan ilegal satwa langka yang dilindungi pemerintah diatur dalam Pasal 21 Ayat (2) huruf d dan Pasal 40 Ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal  4 (2) PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi sesuai dengan Daftar Lampiran nomor urut 224, yang diperjelas dengan PP RI No. 8 Tahun 1999. 
b.      Putusan hakim Pengadilan Negeri Denpasar No. 0106/Pid.Sus/2010.Pn.Dps yang menghukum terdakwa telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Putusan tersebut didasarkan pada fakta adanya tindak pidana memperjualbelikan satwa langka yang dilindungi negara, dan hukumannya telah sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2.      Saran
a.       Perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intensif mengenai jenis satwa langka yang dilindungi, hal ini dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya tindak perdagangan satwa ilegal sebagai akibat ketidaktahuan masyarakat.
  1. Hendaknya pemerintah melalui instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, khususnya pelestarian alam dan satwa melakukan penyuluhan hukum khususnya tentang aspek pidana pelanggaran memperjualbelikan satwa langka yang dilindungi kepada masyarakat secara keseluruhan dan penduduk setempat pada khususnya.

E.     Referensi
Koesnadi Hardikasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi kedelapan cetakan keduapuluh, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.

Tony Suhartono, dkk, Pelaksanaan Konvensi CITES, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=comcontent&view=article&id=54satwa&catid= 5:perizinan&ltemid=127 ( diunduh pada tanggal 03/08/11 Pukul 23.13 WIB )

http//:www.bloghukum.comAindex.php=article&id=122:penegakan-pidana-konservasi-sda-hayati-dan-ekosistem&catid=2:pidana&ltemid=68 (diunduh pada tanggal 18/08/11 pada pukul 15.00 WIB)






1) Dosen Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular

2 http://www.lawskripsi.com/index.php?option=comcontent&view=article&id=54satwa&catid= 5:perizinan&ltemid=127 ( diunduh pada tanggal 03/08/11 Pukul 23.13 WIB )

3 Ibid.
4  Tony Suhartono, dkk, Pelaksanaan Konvensi CITES, Jakarta: Bumi Aksara, 2003,        hal. 5.
5http//:www.bloghukum.comAindex.php=article&id=122:penegakan-pidana-konservasi-sda-hayati-dan-ekosistem&catid=2:pidana&ltemid=68 (diunduh pada tanggal 18/08/11 pada pukul 15.00 WIB)
6Ibid.
7Ibid.

TINDAK PIDANA KEALPAAN DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS DI JALUR TRANSJAKARTA

Tindak Pidana Kealpaan Dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Di Jalur   Transjakarta


Oleh :
Sabungan Sibarani 1)

Abstract

The criminal law recognizes two forms of error, ie deliberate and kealpaan. Traffic accident as a form of crime that adopt a form of error in the form of negligence have a new problem with the existence of a mode of transportation Transjakarta. This case relates to an accident that occurred in the special line bus transjakarta. This study aims to determine the extent of the application of a form of negligence in a traffic accident on the track Transjakarta. As for this methods used in the conduct of research is a normative juridical, by digging deep by the concept of omission. This case aims to describe a form of negligence by other theories related to this study have descriptive type. In conducting this study, the authors affiliated in one field of science, the science of law. The data of this study is secondary data consisting of primary legal materials, secondary, and tertiary are supplemented by additional data that has been done,  the results found that there is a difference in the application of the concept of negligence in the accident in the accident TransJakarta lane in general. In addition, a very different thing between the application of criminal responsibility in the train with a special line TransJakarta. Thus, it can be concluded bahawa an accident in TransJakarta lane is not unlike a traffic accident in general and not a special accident to have a special criminal liability as well.
Keywords: Crime negligence, Traffic Accident, Busway.

Abstrak

Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan.Kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu bentuk tindak pidana yang mengadopsi suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan memiliki suatu masalah baru dengan adanya suatu moda transportasi Transjakarta.Hal ini berkaitan dengan suatu kecelakaan yang terjadi dalam jalur khusus bus transjakarta. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan suatu bentuk kealpaan dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta. Adapun metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif, dengan cara menggali seacara mendalam mengenai konsep dari kealpaan. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan suatu bentuk kealpaan dengan teori lain yang terkait sehingga penelitian ini memiliki tipe penelitian deskriptif. Dalam melakukan penelitian ini, penulis berpengang pada satu bidang ilmu, yaitu ilmu hukum. Data penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dilengkapi dengan tambahan data yang telah dilakukan, ditemukan hasil bahwa tidak terdapat suatu perbedaan penerapan mengenai suatu konsep kealpaan pada kecelakaan di jalur transjakarta dengan kecelakaan pada umumnya. Selain itu, suatu hal yang berbeda jauh antara penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kereta api dengan jalur khusus transjakarta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahawa suatu kecelakaan di dalam jalur transjakarta tidaklah ubahnya suatu kecelakaan lalu lintas pada umumnya dan bukan suatu kecelakaan khusus yang mempunyai suatu bentuk pertanggung jawaban pidana yang khusus pula.


Kata Kunci : Tindak Pidana Kealpaan, Kecelakaan Lalulintas, Busway.

A.    Latar Belakang Masalah
Suatu tindak pidana tidak hanya dapat terjadi dengan adanya suatu kesengajaan dari pelaku, tetapi juga terdapat suatu tindak pidana yang terjadi karena adanya suatu sikap yang kurang hati-hati atau kealpaan dari si pelaku. Dalam hal yang terakhir, sesungguhnya pelaku (pada umumnya) tidak berniat untuk melakukan suatu tindak pidana. Namun, karena kekuranghati-hatian atau bahkan kecerobohannya, pelaku tersebut melakukan suatu tindak pidana. Dalam hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dalam Bab XXI Tentang Menyebabkan Mati atau Luka-lukaKarena Kealpaan (Pasal 359 s/d 361 KUHP). Di dalam bukunya, Lamintang memberikan terjemahan pernyataan tersebut sebagai “Opzet adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilarang atau diharuskan undang-undang”.2
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa pembahasan mengenai opzet dan kealpaan itu sendiri merupakan suatu hal yang sangat erat, dimana dalam menentukan suatu kesalahan atas tindak pidana kealpaan sangat tergantung dari adanya kehendak (willens) dan pengetahuan/mengetahui (wetens) dari pelaku atas suatu tindak pidana. Hal ini akan memberikan jawaban kepada seorang penegak hukum mengenai apakah tindak pidana yang dilakukannya tersebut memang merupakan suatu kehendak pelaku ataukah hal itu merupakan dampak atas ketidakhati-hatian si pelaku. Selain unsur kehendak dari si pelaku tindak pidana, hal yang tidak dapat dipisahkan dari kealpaan adalah adanya unsur kesalahan atas suatu tindak pidana karena seperti yang telah diketahui bahwa sebuah peristiwa pidana umumnya tidak terlepas dari adanya kesalahan dari pelakunya. Kesalahan ini merupakan salah satu hal mendasar guna menentukan suatu peritiwa pidana karena dengan adanya kesalahan ini, penentuan bersalah atau tidak bersalahnya seorang pelaku pidana dapat dijatuhkan. Hal ini diperkuat dengan adanya penafsiran atas Pasal 44 KUHP yang berbunyi: “Tidak ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan”. Dalam bahasa asing, disebut “Geen straf zonder Schuld” (Belanda), atau “Actus non facti reum nisi mens sit rea” (Latin) atau “An Act does not constitute it self guilt unless the mind is guilty” (Inggris).3
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa suatu pemahaman dan pembahasan mengenai kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting. Selain itu, kealpaan di dalam hukum pidana merupakan salah satu bentuk dari kesalahan itu sendiri. Hukum pidana mengenal adanya dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan sehingga pemahaman mengenai kesalahan merupakan hal krusial dalam memahami kealpaan itu sendiri.
Pemahaman terhadap jenis tindak pidana, khususnya berkaitan dengan delik, ditinjau dari bentuk kesalahannya juga merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pemahaman mengenai kealpaan acap kali beririsan dengan pemahaman mengenai dolus eventualis (kesengajaan dengan menyadari kemungkinan). Kesengajaan jenis ini bergradasi yang terendah dan yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini ialah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang (beserta akibat dan tindakan lainnya) yang mungkin akan terjadi.4  Pada dasarnya tidaklah terlihat suatu perbedaan mendasar dari konsep kealpaan itu sendiri dengan konsep dolus eventualis. Oleh karena itu, diperlukan suatu pemahaman terhadap konsep dolus sehingga dapat dilihat secara tegas perbedaan antara dolus dengan culpa.
Apabila pemahaman mengenai opzet dan kesalahan, baik dalam bentuk culpa maupun dolus, telah dipahami secara mendalam maka sudah barang tentu pemahaman mengenai pertanggungjawaban pidana atas suatu tindak pidana kealpaan dapat dipahami secara lebih mudah. Namun, terdapat satu hal yang masih perlu diperhatikan di samping ketiga hal di atas, yaitu pemahaman mengenai kausalitas (sebab-akibat). Banyak ahli mengungkapkan bahwa suatu tindak pidana tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi karena adanya penyebab dari suatu hal. Hal ini berarti bahwa suatu peristiwa atau tindakan dapat menimbulkan suatu atau beberapa peristiwa lainnya.5  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kausalitas adalah suatu hal yang menyebabkan ada atau terjadinya suatu tindak pidana. Dengan diketahuinya suatu hal yang menyebabkan suatu akibat terjadi, dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut tergolong sebagai suatu tindak pidana atau bukan. Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa dapat dipidananya suatu tingkah laku tergantung pada timbulnya suatu akibat dari tindakan tersebut.6 Berkaitan dengan suatu bentuk tindak pidana kealpaan, tentunya tidak dapat dipisahkan dari masalah kausalitas. Hal ini karena suatu bentuk tindak pidana kealpaan umumnya merupakan suatu bentuk tindak pidana materil sehingga pembahasannya tidaklah dapat dipisahkan dengan suatu bentuk ajaran kausalitas.
Setelah memahami secara pasti mengenai tindak pidana kealpaan beserta teori-teori terkait maka timbul suatu pertanyaan bagaimana sesungguhnya penerapan ketentuan mengenai tindak pidana kealpaan ini di dalam kehidupan nyata. Umumnya, penerapan tindak pidana kealpaan kerap kali dikaitkan dengan tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Hal ini karena adanya anggapan bahwasannya semua kecelakaan yang terjadi di dalam lalu lintas jalan raya terjadi bukan karena kehendak dari para pihak, melainkan karena adanya unsur ketidaksengajaan atau ketidakhatihatian atau bahkan kecerobohan dari salah satu pihak ataupun kedua belah pihak. Namun, dalam hal ini sering kali para pengemudi kendaraan bermotor yang berukuran lebih besarlah yang dipersalahkan atas suatu kecelakaan lalu lintas.
Hal yang paling menarik perhatian adalah kecelakaan yang kerap kali terjadi di jalur Transjakarta.7 Transjakarta merupakan suatu moda transportasi baru yang diperkenalkan oleh pihak Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta untuk mengatasi masalah kemacetan yang menjadi pekerjaan rumah paling besar bagi Pemda DKI Jakarta. Moda transportasi ini merupakan suatu moda transportasi massal, dimana dalam pengoperasiannya bus Transjakarta berjalan di dalam suatu jalur khusus bus Transjakarta yang terpisah dengan jalur pengguna jalan lainnya. Pemisahan jalur ini menggunakan separator di jalur kanan di tiap jalan yang dilalui oleh bus Transjakarta. Namun, tak jarang pemisahan tersebut hanya dipisahkan dengan menggunakan marka jalan dan menyatu dengan jalur kendaraan lainnya. Jalur Transjakarta sendiri (yang dipisahkan oleh separator jalan) merupakan jalur yang hanya diperuntukan bagi bus Transjakarta dan bukan bagi pengguna jalan lainnya.
Merupakan suatu hal yang cukup aneh apabila di dalam suatu jalur Transjakarta kerap kali terjadi kecelakaan yang melibatkan bus Transjakarta dengan pengguna jalan lainnya dan tidak jarang kecelakaan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban luka maupun korban jiwa.
Berdasarkan laporan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Transjakarta Busway, sedikitnya telah terjadi 54 kecelakaan dalam semester pertama tahun 2011.8 Pada dasarnya, suatu kecelakaan lalu lintas merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, apabila kecelakaan tersebut terjadi di dalam jalur Transjakarta yang terpisah dengan jalur umum, tentunya merupakan suatu kejanggalan. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana mungkin kecelakaan tersebut dapat terjadi di dalam suatu jalur yang (seharusnya) tidak ada pengendara lain (antara bus Transjakarta dengan kendaraan lain). Hal ini tentunya sangat menarik untuk ditelaah secara lebih mendalam dari segi hukum mengenai pertanggungjawaban pidana dalam kecelakaan di dalam jalur Transjakarta.
Permasalahan yang paling menarik adalah bagaimana mungkin suatu jalur khusus bagi bus Transjakarta kerap kali dilanggar oleh para pengguna jalan lain yang pada akhirnya mengakibatkan suatu kecelakaan lalu lintas dan kerap kali kecelakaan tersebut mengharuskan adanya suatu pertanggungjawaban pidana. Dalam hal yang terakhir, tentunya diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai kemungkinan adanya kesalahan dari pihak korban sendiri ataupun kemungkinan tidak adanya kesalahan dari para pihak yang terlibat dalam kecelakaan tersebut. Penulisan skripsi ini akan mengaitkan mengenai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana kealpaan yang mungkin saja dikenakan kepada para pengemudi bus Transjakarta yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, dalam skripsi ini, akan dibahas mengenai tindak pidana kealpaan itu sendiri dan bagaimana pertanggungjawabannya ap abila dipandang dalam beberapa aspek hukum pidana di Indonesia.

B.     Permasalahan
          Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah ;
1.      Apa yang dimaksud dengan tindak pidana kealpaan dan bagaimana pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana tersebut?
2.      Bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana kealpaan dalam suatu perkara kecelakaan lalu lintas di dalam KUHP dan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?
3.      Bagaimanakah penerapan tindak pidana kealpaan dan pertanggungjawabannya dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta?

C.    Analisis Kasus Kecelakaan Di Jalur Transjakarta
1.      Kasus Posisi
Kasus kecelakaan bus Transjakarta yang penulis ambil merupakan suatu contoh kasus yang terjadi antara bus Transjakarta dengan seorang pejalan kaki. Terdakwa dalam kasus kecelakaan ini adalah seorang supir perempuan bernama Merke Lourine Rumengan yang pada saat kejadian berusia 42 tahun, sedangkan korban dalam peristiwa ini adalah seorang siswa Sekolah Dasar bernama M. Rizky Firmansyah berusia 9 tahun.
Peristiwa kecelakaan ini terjadi pada hari Rabu, 9 Februari 2011 sekitar pukul 10.50 WIB di Jalan Mampang Prapatan arah utara di depan Wisma Mampang sebelum Shelter Busway Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pada saat itu terdakwa tengah mengemudikan sebuah bus Transjakarta dengan nomor polisi B 7445 IX dengan trayek Ragunan-Dukuh Atas.. Pada saat Kondisi jalan umum padat pada saat kecelakaan terjadi, namun kondisi jalan di dalam jalur khusus bus Transjakarta lancar sehingga dengan leluasa terdakwa dapat memacu kendaraannya dengan kecepatan 30—40 km/jam.
Kejadian tersebut bermula ketika terdakwa tengah mengendarai bus Transjakarta tersebut di Jalan Mampang Prapatan arah utara sebelum shelter busway Mampang Prapatan dengan kecepatan sekitar 30—40 km/jam menuju ke Dukuh Atas yang bersamaan secara tiba-tiba korban yang baru saja pulang sekolah menyeberang jalan serta jalur bus Transjakarta tersebut. Ketika kejadian terjadi terdakwa tengah fokus melihat shelter Mampang Prapatan untuk berhenti dan menaik-turunkan penumpang sehingga ia kurang menyadari ada pejalan kaki yang tengah menyeberang.
Hal itu menyebabkan kecelakaan tersebut tidak terelakan dan akhirnya korban tertabrak. Tabrakan tersebut menyebabkan korban terpental ke bagian depan kanan bus dalam posisi tertelungkup dengan hidung dan telinga yang mengeluarkan darah serta napas tersengal-sengal. Melihat kondisi korban, salah seorang saksi mata membawa korban ke Rumah Sakit Duren Tiga Jakarta Selatan. Korban meninggal dunia ketika sampai di rumah sakit. Berdasarkan hasil Visum et Repertum diketahui bahwa penyebab kematian korban adalah karena memar dan pembengkakan di kepala, memar dan luka lecet di lengan bawah kanan dan kiri, serta tangan kanan dan kiri yang diakibatkan kekerasan benda tumpul. Berdasarkan hal tersebut, akhirnya terdakwa ditangkap dan didakwa dengan Pasal 310 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam persidangan, terdakwa membenarkan segala hal yang diungkapkan oleh jaksa dalam dakwaannya. Pada akhirnya, dalam tuntutannya jaksa/penuntut umum hanya menuntut terdakwa atas pelanggaran Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 karena segala unsur dalam Pasal 310 ayat (4) tersebut telah terpenuhi sehingga jaksa / penuntut umum tidak perlu lagi membuktikan segala unsur di dalam Pasal 310 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengungkapkan bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti yang diajukan ke persidangan terbukti bahwa semua unsur dalam dakwaan telah terpenuhi sehingga terdakwa dinyatakan telah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009, yaitu unsur barangsiapa dan karena salahnya menyebabkan matinya orang lain.
Selain itu, di dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa dalam hal ini tidak ditemukan unsur pemaaf maupun pembenar sehingga terdakwa mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya. Dalam putusan ini, terdapat beberapa hal yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa, di antaranya adalah:
Hal-hal yang memberatkan:
Perbuatan terdakwa mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Hal-hal yang meringankan:
1.   Terdakwa belum pernah dihukum;
2.   Adanya perdamaian antara pihak keluarga dengan pihak terdakwa sehingga pihak keluarga korban tidak menuntut karena itu merupakan musibah;
3.   Terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya;
4.   Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi; dan
5.   Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.

        Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan orang mati sehingga terdakwa dijatuhi pidana penjara selama enam bulan. Namun, di dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa kecuali di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim bahwa terdakwa sebelum waktu percobaan selama satu tahun berakhir telah bersalah melakukan suatu tindak pidana.

2.      Analisis Putusan
          Pada bagian ini, kasus di atas akan dianalisis berdasarkan teori-teori yang ada dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Analisis pada bagian ini akan dibagi ke dalam tiga hal yang utama, yaitu analisis berdasarkan unsur, analisis mengenai keterkaitan jalur Transjakarta dalam suatu kecelakaan lalu lintas, dan analisis berdasarkan beberapa hukum terkait di luar aturan mengenai tindak pidana kealpaan namun tetap terkait pada penerapan hukum dalam suatu tindak pidana kealpaan. Untuk mempermudah dalam analisis kasus-kasus tersebut, ketiga nama terdakwa dalam bab ini akan disingkat menggunakan inisial dari masing-masing terdakwa. Terdakwa atas nama Merke Lourine Rumengan akan disingkat menjadi terdakwa ML.

3.       Analisis Unsur
          Suatu tindak pidana tentunya tidak terlepas dari setiap unsur-unsur terkait yang menyebabkan suatu tindakan dapat dibebankan suatu beban pertanggungjawaban pidana. Permasalahan pertama terkait unsur dalam contoh kasus di atas adalah mengenai unsur pasal yang dibebankan kepada terdakwa, yaitu Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009. pihak majelis hakim menggunakan unsur Pasal 359 KUHP, yaitu unsur barangsiapa dan unsur karena kesalahannya/kelalaiannya menyebabkan matinya seseorang. Seharusnya dalam menguraikan unsur mengenai Pasal 310 ayat (4), majelis hakim menggunakan unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Setiap orang
          Unsur setiap orang pada dasarnya tidaklah berbeda dengan pengertian dari unsur barangsiapa di dalam KUHP. Unsur ini merupakan suatu unsur yang menunjukkan subjek dari suatu tindak pidana yang memiliki arti bahwa siapa saja dapat dibebankan pertangungjawaban pidana apabila orang tersebut melanggar ketentuan sebagaimana diatur di dalam pasal ini. Pembebanan pertanggungjawaban ini pun tentunya tidak terlepas dari kemampuan bertanggung jawab si pelaku.
          Dalam kasus di atas, unsur ini telah terpenuhi dengan terpenuhinya unsur barangsiapa dalam putusan tersebut. Dalam putusan tersebut, dikemukakan bahwa berdasarkan semua fakta yang terungkap dipersidangan mengenai identitas dari terdakwa yang bersesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh pihak penyidik kepolisian dan pihak jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya yang dibenarkan oleh terdakwa. Selain itu, dalam kasus ini, tidak terdapat suatu dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada terdakwa. Hal ini didasari pada kesadaran bahwa ketika tindak pidana ini terjadi, terdakwa dalam keadaan sehat akal dan tidak memiliki suatu penyakit jiwa tertentu yang memengaruhi pikirannya untuk mempertimbangkan tindakan yang telah mereka lakukan. Selain itu, terdakwa dalam kasus ini merupakan orang yang telah dewasa. Hal ini karena dalam ketiga kasus tersebut, para terdakwa mampu menyadari, mengerti, dan mampu menentukan kehendak atas perbuatannya tersebut. Selain itu, hal ini juga karena terdakwa telah berusia lebih dari 18 tahun.

b.      Yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
Mengakibatkan kecelakaan lalu lintas; Hal ini berarti bahwa kecelakaan yang timbul dalam tindak pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 310 UU No. 22 Tahun 2009 ini terjadi di luar kehendak si pelaku. Kecelakaan tersebut terjadi karena kelalaian si pelaku dalam mengemudikan kendaraannya. Kendaraan dalam pasal ini hanya terbatas pada kendaraan bermotor saja. Kendaraan bermotor di dalam UU No. 22 Tahun 2009 disebutkan sebagai suatu kendaraan di jalan yang terdiri atas kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. Artinya, kendaraan bermotor di dalam pasal ini adalah semua kendaraan yang menggunakan mesin sebagai penggeraknya dan menggunakan jalan dalam pengoperasiannya, sedangkan kereta api tidak digolongkan sebagai suatu kendaraan bermotor karena menggunakan rel dalam pengoperasiannya.
          Dalam kasus di atas, unsur mengemudikan kendaraan bermotor ini tidaklah dituliskan di dalam pertimbangan putusannya. Hal ini sungguh disayangkan karena dalam unsur ini merupakan suatu unsur yang cukup penting guna memberikan penekanan limitasi pertanggungjawaban pidana atas suatu tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Unsur ini mencoba membatasi pembebanan pertanggungjawaban pidana pada suatu kecelakaan lalu lintas hanya dapat dibebankan kepada seseorang yang mengemudikan kendaraan bermotor saja. Unsur ini juga merupakan suatu unsur yang memberikan pengaturan secara lebih spesifik dalam UU No. 22 Tahun 2009 apabila dibandingkan dengan penerapan pengaturan mengenai kealpaan di dalam KUHP. Apabila dikaitkan dengan kasus di atas, terdakwa tentu telah memenuhi ketiga unsur ini.
          Hal ini berdasarkan bahwa pada saat kejadian tersebut terjadi, terdakwa tengah mengendarai sebuah armada bus berupa bus Transjakarta dengan nomor polisi B 7445 IX pada kasus terdakwa ML.  bus tersebut merupakan suatu bentuk kendaraan yang digerakkan dengan suatu peralatan mekanik berupa mesin dan tidak berjalan di atas suatu rel, tetapi berjalan di atas sebuah jalan aspal. Hal ini tentunya sesuai dengan definisi mengenai kendaraan bermotor yang diatur  dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
          Berdasarkan hal tersebut, pengertian atas kendaraan bermotor telah terpenuhi dan unsur mengendarai kendaraan bermotor pun telah terpenuhi. Selain itu, unsur mengendarai kendaraan di dalam pasal ini terdapat salah satu bagian dari unsur merupakan unsur terpenting di dalam rumusan Pasal 310 ayat (4) itu sendiri. Hal ini karena unsur ini merupakan suatu unsur yang menentukan bentuk dari kesalahan atas suatu tindak pidana yang diatur di dalam pasal ini. Dalam unsur ini, dikemukakan bahwa kesalahan yang diatur di dalam pasal ini merupakan suatu bentuk kealpaan. Seperti halnya suatu bentuk tindak pidana, dalam suatu kealpaan pun terdapat beberapa unsure yang perlu dipenuhi atas suatu perbuatan agar perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai suatu bentuk kealpaan dan bukan kesengajaan.
          Dalam kasus ini, unsur dari tindak pidana kealpaan tersebut, terlihat berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh tiap-tiap terdakwa ketika terdakwa mengendarai kendaraan yang mereka kemudikan. Kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa ML adalah terdakwa terlalu fokus kepada shelter berikutnya untuk menaikkan dan menurunkan penumpangnya sehingga terdakwa ML tidak melihat korban ketika menyeberang dan menyebabkan terjadinya kecelakaan tersebut. Hal ini tentunya menunjukkan kurangnya pemikiran terdakwa ML bahwa apabila terdakwa ML terlalu focus pada shelter selanjutnya maka terdakwa ML akan mengenyampingkan focus terhadap jalan tersebut dan memungkinkan terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas. Hal ini tentunya berkaitan dengan unsur kealpaan yang kedua mengenai kurangnya pengetahuan yang diperlukan.
          Unsur ini terpenuhi berdasarkan kesalahan tersebut karena sebagai seorang pengemudi bus sudah sepatutnya ia mengetahui bahwa terdapat suatu kemungkinan jalur yang tengah dikemudikannya tersebut dilalui oleh kendaraan lain maupun orang yang hendak menyeberang jalan. Kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa ML itu pun pada dasarnya telah menunjukkan kurangnya kebijaksanaan terdakwa dalam mengemudikan sebuah kendaraan bermotor. Sebagai pengemudi yang bijak, sudah sepatutnya terdakwa tetap fokus pada jalan yang ada di depannya dan tidak terfokus pada keadaan lainnnya yang mungkin dapat mengurangi konsentrasinya ketika mengemudikan kendaraan bermotor.

c.       Yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia
         Unsur ini menunjukkan akibat dari kecelakaan itu sendiri. Dalam pasal ini, akibat dari kecelakaan yang terjadi adalah meninggalnya korban atau dapat diartikan sebagai hilangnya nyawa seseorang. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di muka persidangan, unsur ini telah terpenuhi. Dalam kasus pertama, hal ini dibuktikan dengan adanya surat keterangan kematian No. 11/1.755.3/2001 yang menerangkan bahwa M. Rizki Firmansyah pada 9 Februari 2011 sekitar pukul 11.15 telah meninggal di rumah sakit. Selain itu, berdasarkan hasil Visum et Repertum Nomor 008/VER/RSA/008-II/2011 pada 9 Februari 2011 yang ditandatangani oleh dr. Linda Lestari dengan kesimpulan pada korban anak laki-laki berusia 9 tahun ini ditemukan memar dan pembengkakan di kepala, memar dan luka lecet pada lengan bawah kanan kiri serta tangan kanan dan kiri akibat kekerasan benda tumpul. Luka-luka tersebut telah menimbulkan kematian korban.
         Apabila dikaitkan dengan teori mengenai kausalitas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab terdekat atau paling memungkinkan menyebabkan kematian yang dialami oleh korban tersebut adalah karena tabrakan yang terjadi antara korban dengan bus yang dikemudikan oleh terdakwa. Hal ini sesuai dengan teori kausalitas, yaitu condito sine quanon yang umumnya digunakan oleh hakim di Indonesia dalam memutuskan suatu perkara pidana. Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi Muhamad Budi Setiawan yang melihat kejadian tersebut serta keterangan yang dikemukakan oleh terdakwa di muka persidangan.
          Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa pertanggungjawaban pidana atas kecelakaan tersebut dapat dibebankan kepada terdakwa karena penyebab dari kematian yang terjadi pada korban adalah karena tertabrak oleh bus yang dikendalikan oleh terdakwa. Berdasarkan uraian mengenai unsur-unsur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009, terlihat bahwa terdakwa memang telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut. Hal ini tentunya berimbas pada pembebanan pertanggungjawaban pidana pada terdakwa atas tindakan yang telah dilakukan.
          Selain itu, dapat disimpulkan bahwa dalam merumuskan unsur-unsur Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 kerap kali hakim masih menguraikannya menggunakan unsur dalam Pasal 359 KUHP. Hal ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk penyimpangan karena terdapat perbedaan mendasar antara unsur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 dengan unsur dalam Pasal 359 KUHP. Pengaturan unsur-unsur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 memiliki suatu perbedaan yang mengatur secara lebih spesifik mengenai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu lintas disbanding dengan kealpaan yang diatur dalam KUHP.
          Selain analisis berdasarkan unsur dari tindak pidana itu sendiri, pada bagian ini, juga dilakukan analisis mengenai tingkat, bentuk, dan kesalahan korban sebagai salah satu penyebab terjadinya kecelakaan. perkara tersebut berdasarkan unsur tindak pidana yang telah dikemukakan pada putusan merupakan suatu bentuk tindak pidana kealpaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu bentuk kealpaan dengan tingkatan kealpaan berat (culpa lata). Hal tersebut karena kealpaan yang dilakukan oleh terdakwa memungkinkan adanya suatu pemidanaan terhadap apa yang dilakukannya.
          Selain itu, dalam hal ini, akibat yang ditimbulkan atas perbuatan yang dilakukan para terdakwa secara umum dinilai sebagai suatu hal yang besar, yaitu hilangnya nyawa seseorang. Hal yang sangat disayangkan terkait dengan tingkatan kealpaan adalah pada kasus ini, tidak terdapat suatu pertimbangan mengenai tingkatan kealpaan ini sebagai suatu pertimbangan penjatuhan berat ringannya putusan para terdakwa. Para hakim dalam kasus ini tidak menyinggung suatu pertimbangan mengenai tingkatan kealpaan ini untuk menentukan berbagai aspek dalam pemidanaan terdakwa.
          Dalam putusan, hal ini sangat sulit untuk menentukan tingkatan dari kealpaan ini sendiri karena dalam proses pemeriksaan, baik itu penyidikan maupun persidangan, baik polisi, jaksa/penuntut umum maupun hakim, sama sekali tidak memperhatikan dan menanyakan kepada para terdakwa mengenai suatu kesadaran terdakwa akan kemungkinan terjadinya tindak pidana sebagai suatu patokan untuk menentukan tingkatan kealpaan ini. Namun, apabila dilihat berdasarkan kasus posisi  dan berdasarkan fakta-fakta yang dikemukakan di muka persidangan, kasus ini dapat digolongkan sebagai suatu kealpaan yang disadari atau suatu bentuk kealpaan yang tidak disadari. Terdakwa ML menyatakan bahwa dia sama sekali tidak membayangkan bahwa ada kemungkinan korban menyeberang jalan. Terdakwa ML dalam hal ini terlalu fokus dengan shelter selanjutnya sehingga ia tidak berkonsentrasi terhadap jalan dan keadaan sekitar yang akan dilalui serta tidak membayangkan bahwa ada kemungkinan pejalan kaki yang akan menyeberang jalan.
Dalam kasus ini, korban menyeberang jalan tanpa menggunakan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang telah disediakan dan menyeberang secara berlari. Walaupun dalam UU No. 22 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap pengemudi kendaraan wajib menjamin keselamatan pejalan kaki dan memperkirakan serta mendahulukan pejalan kaki apabila hendak menyeberang jalan. Namun, dalam kasus ini, kecelakaan korban juga cukup besar. Seperti yang telah dikemukakan bahwa penyebab kecelakaan terjadi adalah karena terdakwa tidak fokus ke arah jalan dan hanya fokus kepada shelter berikutnya untuk menurunkan penumpang.
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi kejadian tidak jauh dari shelter Transjakarta, sedangkan seperti yang telah diketahui bahwa pada suatu shelter Transjakarta pasti disediakan suatu fasilitas penyeberangan, baik itu JPO maupun zebra cross. Korban dalam kasus ini tidak menggunakan fasilitas penyeberangan yang ada dan memilih untuk menyeberang jalan secara sembarangan sehingga menyebabkan kecelakaan ini terjadi. Berdasarkan hal ini, korban telah mengenyampingkan ketentuan dalam Pasal 132 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal ini, kesalahan dari korban mengambil adil yang cukup besar pada proses terjadinya kecelakaan lalu lintas. 
Ketiga hal tersebut, yakni tingkatan kealpaan, bentuk kealpaan, dan kesalahan korban merupakan berbagai hal yang bisa memengaruhi berat ringannya penjatuhan pidana dalam suatu perkara pidana. Seorang hakim sebaiknya memberikan sebuah pertimbangan berdasarkan ketiga hal di atas sebelum ia menjatuhkan suatu hukuman pidana kepada terdakwa yang tengah melakukan suatu kealpaan dan diajukan ke meja persidangan. Pada tiga putusan yang dianalisis, hal ini tidak terlihat sama sekali dalam pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan kepada ketiga terdakwa.
Hal ini sungguh disayangkan karena apabila hal ini dikaji secara mendalam dalam kasus-kasus tersebut, hakim akan lebih mudah untuk menentukan berat ringannya pidana yang dapat dijatuhkan kepada para terdakwa dengan mempertimbangkannya dari berbagai aspek. Dengan dipertimbangkannya ketiga hal ini pun, rasa keadilan tentunya akan lebih terpenuhi karena terdakwa diharapkan tahu alasan-alasan apa saja yang secara mendetil yang menyebabkan si terdakwa dijatuhi suatu pemindanaan.

D.    Penutup 
1.      Kesimpulan
         Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai suatu tindak pidana kealpaan dalam suatu kecelakaan lalu lintas, didapatkan suatu kesimpulan  berupa:
a.       Tindak pidana kealpaan merupakan suatu bentuk tindak pidana dengan bentuk kesalahan berupa kealpaan. Kesalahan pada suatu kealpaan terjadi apabila si pelaku tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika seharusnya kemampuan itu digunakan. Kemampuan dalam hal kealpaan ini merupakan suatu kemampuan seorang pelaku untuk bertindak cermat atau hati-hati ketika ia tengah melakukan suatu hal. Suatu pertanggungjawaban dalam tindak pidana kealpaan tidaklah ubahnya dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini berarti bahwa untuk dapat dibebankan suatu pertanggungjawaban pidana maka diperlukan empat syarat, yaitu melakukan suatu perbuatan pidana (sifat melawan hukum); di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab; mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kealpaan; dan tidak  adanya alasan pemaaf. Untuk menentukan suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan, sebuah tindak pidana harus memenuhi unsur dari kealpaan itu sendiri. 
b.      Pengaturan mengenai tindak pidana kealpaan dalam suatu perkara kecelakaan lalu lintas di dalam KUHP diatur dalam Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP hanya membebankan pertanggungjawaban pidana pada suatu kealpaan yang menimbulkan kematian dan luka berat. Hal ini menyebabkan suatu kealpaan yang menyebabkan luka ringan tidak diatur secara spesifik, seperti layaknya suatu kealpaan yang menyebabkan mati ataupun luka berat. KUHP mengenal suatu pemberatan dalam suatu delik kealpaan yang diatur dalam Pasal 361 KUHP. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan bahwa ada beberapa ketentuan pidana yang dituangkan ke dalam 34 (tiga puluh empat) pasal, di mana berdasarkan Pasal 316 UU No. 22 Tahun 2009, 28 (dua puluh delapan) pasal mengatur mengenai pelanggaran dan 6 (enam) pasal merupakan suatu kejahatan.
c.       Penerapan tindak pidana kealpaan dan pertanggungjawabannya dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta, pada dasarnya lebih mengacu pada aspek pengadaan bus Transjakarta dalam lalu lintas angkutan jalan diatur di dalam UU No. 22 Tahun 2009, khususnya di dalam Pasal 93 ayat (2) Huruf a dan Pasal 158 ayat (2). Selain itu, pengadaan bus Transjakarta juga dipertegas dengan Pergub No. 103 Tahun 2007. Namun secara umum bilamana terjadi pelanggaran berkenaan dengan kecelakaan lalu lintas di jalur Jakarta tentunya mengacu pada KUHP (Pasal 359 jo 360) dan disinkronisasikan dengan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.



2.      Saran
         Setelah mengetahui kesimpulan mengenai tindak pidana kealpaan dan penerapannya dalam suatu kecelakaan di jalur Transjakarta, pada bagian ini akan diberikan beberapa saran mengenai hal tersebut. Adapun beberapa saran yang diberikan mengenai hal tersebut adalah:
1.         Pada penerapan suatu delik kealpaan, seorang aparat penegak hukum dituntut bertindak lebih cemat dalam melakukan suatu penelitian mengenai suatu perkara, hal ini di karena suatu tindak pidana kealpaan memiliki suatu irisan dengan suatu tindak pidana kesengajaan yang sukar dibedakan satu dengan yang lainnya sehingga dapat mencegah kemungkinan penerapan hukum yang salah. Selain itu dalam melakukan suatu analisis mengenai suatu kealpaan, hakim di tuntut lebih cemat dalam menentukan tingkat dan bentuk dari kealpaan itu sendiri untuk mempertimbangkan berat ringannya suatu penjatuhan pidana atas kesalahan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Hal ini tentunya bertujuan untuk menjatuhkan suatu pemidanaan yang seadil-adilnya bagi seorang pelaku tindak pidana.
2.         Pada tindak pidana kealpaan, khususnya kecelakaan lalu lintas, hakimpun dituntut untuk menggali secara lebih mendalam mengenai kesalahan yang dilakukan oleh seorang korban yang mungkin mengambil andil lebih besar dari kesalahan pelaku. Hal ini sangat penting karena pertimbangan atas kesalahan dari korban itu sendiri pada nantinya dapat mempengaruhi berat ringannya pemidanaan pada terdakwa.
3.         Diadakan suatu perbaikan terkait Pasal 236 UU no. 22 tahun 2009 mengenai tanggungjawab supir dan pemilik kendaraan bermotor untuk mengganti kerugian yang dialami oleh seorang korban kecelakaan lalu lintas. Perbaikan dalam hal ini meliputi suatu aturan lebih lanjut yang menerangkan penggunaan aturan ganti kerugian dalam pasal ini dan ruang  lingkup ganti kerugian yang perlu digantikan oleh seorang terdakwa dalam perkara kecelakaan lalu lintas.
4.         Transjakarta sebagai salah satu sistem transportasi massal di DKI Jakarta diharapkan dilengkapi dengan suatu aturan yang lebih komperhensif mengenai Transjakarta, agar pengaturan mengenai pelanggaran dalam suatu jalur Transjakarta memiliki kekuatan penegakkan hukum yang lebih kuat.
5.         Meningkatkan sosialisasi mengenai asuransi Jasa Raharja serta memberikan pemberitahuan secara langsung kepada para korban maupun keluarga korban kecelakaan lalu lintas mengenai asuransi Jasa Raharja apabila terjadi kecelakaan lalu lintas.
6.         Diperlukan adanya suatu sosialisasi secara lebih lanjut kepada pihak transjakarta oleh pihak kepolisian maupun dinas perhubungan guna mengurangi arogansi para pengemudi Transjakarta dalam memacu kendaraannya di jalur transjakarta. Hal ini tentunya berkaitan dengan suatu pemahaman bahwa jalur transjakarta bukanlah sebuah jalur khusus mutlak yang membentuk suatu pertanggungjawaban pidana yang berbeda layaknya kereta api. Sehingga aturan dan kehati-hatian dalam berkendara tetap harus diperhatikan oleh seorang pengendara bus transjakarta.

E.     Referensi
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994).

E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982).

J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987).

P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997).

http://metrotvnews.com/metromain /newscat /metropolitan 








1) Dosen Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular

2P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 280.
3E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 161.
4Ibid., hlm. 179.
5E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994) hlm. 381.
6J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 153.
7Pada umumnya, masyarakat mengenal bus Transjakarta sebagai busway. Hal ini terjadi karena bus Transjakarta memiliki lajur tersendiri di dalam pengoperasiannya yang disebut sebagai busway yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai jalur bus. Namun hal ini merupakan suatu anggapan yang salah, karena apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia penggunaan istilah yang tepat adalah jalur bus Transjakarta.

8Berdasarkan berita pada situs http://metrotvnews.com/metromain /newscat /metropolitan /2011/07/11/57515/54-Kecelakaan-di-Jalur-Busway-Selama diakses pada  26 September 2012 ,pukul 14.50 WIB.