KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP
LIBERALISASI PERDAGANGAN DIBIDANG JASA OLEH
NEGARA-NEGARA ASEAN MELALUI AFAS
(Asean Framework Agreement on Service)
Oleh :
Andre Manuputy1
ABSTRACT
This study was conducted to determine how the member states impose AFAS countries within the scope of GATS and how its implications, and how it can be applied effectively to the AFAS States participants, in this Asean Countries and to mengetahui AFAS can affect the extent to which the industry services in Indonesia.
This research was conducted with library research techniques or library research (study reading materials such as books, an international treaty, the result of the seminar, letters, materials from the internet, as well as other library materials) as well as field research dengana conduct direct interviews with people Yanga competent person. The data obtained during the study and then, well primary data, as well as secondary has been obtained, to be a scholarly work integrated and systematic, the authors will analyzing qualitative data obtained for presents the results descriptively.
The results of the study are as follows 1). The rules of regional trade in services performed by colliding with the general principles are commonly applicable in the WTO, the principle of non-discrimination and as National treatments. But rules are made in the GATS umbrella commercial or business services created with ease enforcement of these principles. 2). that in itself applying the principle of MFN AFAS (Most Favoured Nation), Non discriminative, Transparency,  fund Liberalisation Progressive implementation mechanisms outlined in the AFAS. AFAS mechanism implemented by carrying out a series of negotiations under the ASEAN Cordinating Committee on Services (CCS), which coordinates the working group 6 service sectors, namely business, construction, health, marine transportation, tourism, and technology as well telecommunication informasi. 3). Indonesian service industry is growing very rapidly under AFAS. in the value of the contribution of the service sector 2007a terhadapa Indonesia's GDP reached approximately 43%. This is one indication that the sector of trade in services in Indonesia growing quite rapidly and affect the domestic economy.
Therefore, the authors then provide suggestions, 1) need accommodate ASEAN countries that are outside the context of ASEAN, with the augment cooperation between ASEAN partner countries outside ASEAN (External Cooperation). 2) Countries of ASEAN to be more active to improve their domestic services sector so that they can gradually reduce the MFN list amount filed under AFAS their MFN commitments. Later in the implementation of the mechanism AFAS, ASEAN Countries should participate more active to make greater efforts to meet all the targets set time limits and compete with foreign service providers. 3) the only thing to do is to prepare the services sector to be liberalized as quickly as possible. Liberalized sectors should get the support and attention by the government.
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana negara-negara anggota AFAS memberlakukan NegaraNegara dalam lingkup GATS dan bagaimana implikasinya, dan bagaimana AFAS dapat diterapkan efektif terhadap Negara-Negara peserta, dalam Hal ini Negara-Negara Asean serta untuk mengetahui sejauh mana AFAS dapat mempengaruhi industri jasa di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan teknik penelitian kepustakaan atau library research (mempelajari bahan bacaan berupa buku-buku, perjanjian internasional, hasil seminar, surat, bahan-bahan dari internet, serta bahan kepustakaan lain) serta penelitian lapangan dengan melakukan wawancara lansung dengan orang-orang yang berkompeten. Data yang diperoleh selama penelitian kemudian, baik itu data primer, maupun sekunder yang telah diperoleh, agar menjadi sebuah karya ilmiah yang terpadu dan sistematis, maka penulis akan menganalisis data yang diperoleh secara kualitatif untuk kemudian menyajikan hasilnya secara deskriptif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah sebagai berikut 1). Aturan-aturan perdagangan jasa regional dilakukan dengan menabrak prinsip-prinsip umum yang biasa berlaku di WTO, seperti prinsip Non diskriminasi dan National Treatmen. Namun aturan yang dibuat di GATS yang memayungi perdagangan jasa dibuat dengan memperlonggar pemberlakuan prinsip tersebut. 2). bahwa dalam AFAS sendiri menerapkan prinsip MFN (Most Favoured Nation), Non Discriminative, Transparancy, dan Progressive Liberalisation yang dijabarkan dalam mekanisme pelaksanaan AFAS. Mekanisme AFAS dilaksanakan dengan melaksanakan serangkaian negosiasi dibawah ASEAN Cordinating Committee on Service (CCS), yang mengkordinasi kan 6 kelompok kerja sektor jasa, yaitu bisnis, konstruksi, kesehatan, transportasi laut, parawisata, serta telekomunuikasi dan teknologi informasi.3). industri jasa Indonesia berkembang sangat pesat di bawah AFAS. pada tahun 2007 nilai kontribusi sektor jasa terhadapa PDB Indonesia kurang lebih mencapai 43%. Hal ini salah satu petunjuk bahwa sektor perdagangan jasa di indonesia berkembang cukup pesat dan berpengaruh terhadap ekonomi dalam negeri.
Oleh karena itu kemudian penulis memberikan saran, 1) ASEAN perlu mengakomodasi Negara-negara yang berada diluar konteks ASEAN, dengan semakin memperbanyak kerjasama antara ASEAN dengan Negara-negara mitra diluar ASEAN (Kerjasama External). 2) Negara Negara ASEAN agar lebih aktif untuk memperbaiki sektor jasa dalam negeri mereka agar mereka secara bertahap dapat mengurangi vijumlah MFN list yang diajukan dalam komitmen MFN AFAS mereka. Kemudian dalam pelaksanaan mekanisme AFAS, hendaknya Negaranegara ASEAN lebih berpartisipasi Aktif untuk lebih berusaha dalam memenuhi semua target tenggang waktu yang telah ditetapkan dan bersaing dengan penyedia jasa asing. 3) satu satunya hal yang harus dilakukan adalah dengan mempersiapkan sektor-sektor jasa yang akan diliberalisasi dengan sebaik mungkin. Sektor-sektor yang diliberalisasi harus mendapatkan dukungan dan perhatian oleh pemerintah.
A. Latar Belakang
Kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara terhadap munculnya ancaman-ancaman internal dan eksternal yang berpotensi timbul di kawasan ini kemudian mengilhami negara-negara Asia Tenggara untuk membentuk suatu organisasi sebagai wadah dalam menghadapi bersama-sama berbagai tantangantantangan terhadap kawasan tersebut dimasa datang. Hal ini juga sebagai sarana untuk semakin meningkatkan kerja sama bilateral maupun regional antar negaranegara Asia Tenggara.
Melalui lima negara sebagai founding father, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura maka pada bulan agustus 1967 didirikanlah suatu wadah tersebut yang dinamakan “Association South East Asian Nation” yang selanjutnya disingkat ASEAN. ASEAN merupakan hasil dari Deklarasi Bangkok yang ditandatangani pada tanggal 8 agustus 1967, yang hingga saat ini (2011), jumlah anggota Asean telah bertambah menjadi sepuluh anggota setelah Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Myanmar dan Laos (1997), dan Kamboja (1999) bergabung menjadi anggota ASEAN.2
Banyak kerjasama-kerjasama yang telah dilakukan oleh negara-negara ASEAN dalam kurun waktu pendiriannya sejak tahun 1967 hingga saat ini, Mulai dari kerjasama dibidang keamanan, sosial hingga kerjasama dibidang ekonomi. Khusus dibidang ekonomi, kebijakan liberalisasi perdagangan di wilayah ASEAN telah banyak menyita perhatian para ahli hukum internasional di kawasan ini, karena merupakan isu krusial yang berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kemakmuran negara-negara Asia Tenggara itu sendiri. Liberalisasi perdagangan merupakan isu yang kontroversial dalam dinamika perdagangan internasional seiring dengan pro dan kontra terhadap manfaat dan kesiapan negara-negara berkembang dalam persaingan dengan negara maju dalam perdagangan bebas itu. Dalam tulisan ini kemudian lebih fokus mengupas mengenai liberalisasi dibiang Jasa.
Sebelum lebih jauh berbicara mengenai pro dan kontra mengenai paham liberalisasi, ide liberaliasasi perdagangan jasa dikawasan negara-negara ASEAN itu sendiri bermula dari hasil Pertemuan negara-negara ASEAN di Bangkok, Thailand 1995 yang melahirkan Asean Framework Agremeent on Service (AFAS) sebagai landasan dasar dari proses menuju liberalisasi perdagangan jasa di kawasan ASEAN. Dalam rangka meningkatkan daya saing para penyedia Jasa di ASEAN melalui liberalisasi perdagangan bidang jasa, telah mengesahkan AFAS pada KTT ke-5 ASEAN tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand.
Selain itu, juga ada penandatanganan Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation, ada juga KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 yang telah menyepakati ”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015” dan Pada KTT ASEAN Ke-13 di Singapura, bulan Nopember 2007, yang menyepakati Blueprint for the ASEAN Economic Community (AEC Blueprint). Kesepakatan-Kesepakatan inilah yang selanjutnya sebagai latar belakang dari pembentukan aturan-aturan AFAS yang kemudian menjadi satu bingkai dalam suatu komunitas Ekonomi antara negara-negara ASEAN. AFAS sendiri merupakan salah satu bagian penting dari hasil pertemuan negara-negara Asean dalam rangka menuju cita-cita asean untuk mencapai integrasi regional dibidang ekonomi dan perdagangan dalam kerangka AEC (Asean Economic Comuunity). 3
Hal ini disebabkan pertemuan-pertemuan sebelumnya lebih banyak berbicara dan membahas mengenai penghapusan hambatan-hambatan dibidang perdagangan barang. Begitupun dengan jumlah literatur-literatur ilmiah, lebih banyak menyoroti perdagangan yang menyangkut dengan barang, dibandingkan membahas mengenai penghapusan hambatan dibidang jasa.
Dalam lingkup yang lebih luas sebelumnya, telah ada instrumen yang mengatur mengenai penghilangan hambatan perdagangan atau liberalisasi dibidang jasa dalam konteks World Trade Centre ( selanjutnya disingkat WTO). Instrument tersebut biasa dikenal dengan nama General Agremeent Tarrif on Service ( selanjutnya disingkat GATS). Pengaturan mengenai GATS ini sendiri terdapat dalam Annex 1b dari Piagam WTO, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari WTO itu sendiri. Karena itu, lingkup keberlakuan dari GATS tersebut mencakup negara-negara anggotanya dari seluruh dunia.
ASEAN kemudian memandang perlu untuk mengambil sikap mengenai kerjasama di bidang jasa, terutama dalam menghadapi perdagangan di bidang jasa
yang semakin mendunia, khususnya setelah Perundingan putaran Uruguay berhasil memasukkan perdagangan jasa dalam agenda perundingannya yang bermuara pada disepakatinya GATS
Khusus di sektor Jasa, bidang ini memberi kontribusi besar terhadap pendapatan negara. Sektor ini rata-rata menyumbang 40%-50% Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara ASEAN sehingga dinilai memiliki peran strategis dalam perekonomian ASEAN. Sektor ini juga merupakan sektor yang paling cepat pertumbuhannya dikawasan ASEAN. Gambaran singkat tadi tentang
instrumen-instrumen yang dibuat untuk membentuk perdagangan bebas di dunia, maupun di ASEAN, memperlihatkan bagaimana begitu bersemangatnya Negara-negara di dunia berusaha meliberalisasi sektor perdagangan.
Teori yang di kemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “the wealth of
nation” membantah pendapat dari kaum merkantilistis yang mengatakan, bahwa melakukan hambatan perdagangan adalah jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Menurut Adam Smith, kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan dengan seminimal mungkin. Dengan sistem perdagangan bebas, sumber daya yang akan digunakan secara efesien, sehingga kesejahteraan yang akan di capai akan lebih optimal.4
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa WTO, AFTA maupun AEC lebih cenderung mengarahkan sistem ekonomi ke arah liberalisme ala Adam Smith, meskipun hal ini tidak sepenuhnya, sebab dalam beberapa situasi masih diperbolehkan adanya pembatasan-pembatasan yang bersifat sementara. Namun lebih dari itu, tetap saja hal ini menuai pro dan kontra, optimis dan pesimis dalam menghadapi liberalisme perdagangan ini.
Pandangan pesimis ini timbul sebab adanya perbedaan kekuatan ekonomi antara negara-negara di dunia. Negara-negara maju mempunyai kekuatan ekonomi yang lebih besar bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Negaranegara maju melalui kegiatan yang bersifat multinasional telah menguasai teknologi, dana dan jaringan industri serta perdagangan dunia, sedangkan negara berkembang relatif masih tergolong miskin. Kesepakatan dikhawatirkan akan dapat merugikan negara berkembang terutama dalam masalah produksi dan perdagangan komoditi pertanian, industri dan jasa. Hal ini dapat terjadi karena produk-produk tersebut di negara berkembang masih merupakan masalah besar dan belum efesien, baik karena rendahnya kemampuan teknologi maupun karena kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Di sisi lain, perdagangan bebas akan menyebabkan penyerbuan produk negara-negara maju yang di pasarkan di negara-negara berkembang karena kualitasnya dan teknologinya baik, harganya lebih murah. Lebih lebih pemasaran tersebut dilakukan di Indonesia sebagai salah satu negar yang sangat padat penduduknya dengan prilaku yang sangat konsumtif
Bagi negara di wilayah Asia pasifik, termasuk Asean, masa depan yang lebih menguntungkan adalah sistem internasional yang tetap terbuka. Upaya untuk
tetap menjamin keterbukaan system perdagangan merupakan pilihan yang palingmantap untuk menjamin masa depan negara asia pasifik termasuk negara ASEAN, karena dengan demikian stratei untuk mencapai laju pertumbuhan yang tinggi dan strategi untuk mencapai tujuan program pembangunan yang mantap melalui kegiatan yang berorientasi ekspor akan terjamin.5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah status AFAS terhadap aturan GATS (General Agreement on Trade Service)/ WTO?
2. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip dan mekanisme AFAS terhadap Negara-Negara ASEAN ?
3. Sejauh mana Liberalisasi perdagangan di bidang jasa melalui AFAS dapat meningkatkan Industri jasa dalam negeri?
C. PEMBAHASAN
1. Status AFAS terhadap aturan aturan GATS
Berbicara mengenai perdagangan jasa, memang merupakan sesuatu yang baru menjadi perhatian dalam dunia perdagangan internasional, sehingga bila dibandingkan dengan perdagangan barang, memang masih jauh tertinggal dalam hal regulasi dan pengaturan sebagai suatu bidang yang sedang berada dalam usaha untuk diliberalisai, utamanya dalam konteks GATS/WTO.
Selain itu, tak dapat dipungkiri bahwa sektor jasa merupakan sektor yang sama sekali berbeda dengan sektor barang, sehingga pemberlakuan regulasi yang tepat juga memerlukan pemikiran dan langkah yang tepat, sementara disisi lain, industri pada sektor jasa terus berkembang pesat seiring jalannya waktu dan bergerak semakin kompleks. Setidaknya ada empat hal yang menjadi karakteristik pokok jasa yang membedakannya dengan barang, meliputi:6
· Intangibility, artinya tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, dicium, atau didengar sebelum dibeli.
· Inseparability, berbeda dengan barang, jasa biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian di produksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan cirri khusus dari perdagangan jasa ini.
· Variability, yaitu jasa bersifat variable karena merupakan nonstandardized output, artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan dan dimana jasa tersebut dihasilkan.
· Perishability, yaitu jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kursi pesawat yang kosong, kamar hotel yang kosong dsb, akan berlalu begitu saja/ hilang karena tidak dapat disimpan.
Dalam usaha untuk memberlakukan liberalisasi perdagangan dibidang jasa antara negara-negara ASEAN, setidaknya ada dua instrument hukum yang menjadi pedoman, yaitu AFAS (Asean Framework Agreement on Service) yang berfungsi sebagai instrument pengatur utama liberalisasi perdagangan jasa dalam konteks regional untuk negara-negara ASEAN, dan GATS (General Agreement on Trade in Service) sebagai instrument yang mengatur liberalisasi perdagangan Jasa yang berada dalam cakupan perjanjian WTO, sehingga keberlakuan Gats juga
mencakup seluruh anggota WTO. Dalam hal ini, negara negara ASEAN yang juga sebagai anggota WTO sehingga pada dasarnya mereka memiliki kewajiban menghormati dan menjalankan komitment mereka di WTO. Kedua instrument ini diciptakan dengan tujuan utama memperlancar dan menghilangkan hambatan terhadap perdagangan bebas jasa, dimana AFAS kemudian menjadi acuan bagi negara-negara ASEAN untuk meningkatkan akses pasar secara progresif dan menjamin perlakuan nasional yang setara bagi para penyedia jasa di kawasan ASEAN. Seluruh isi kesepakatan dalam AFAS pada dasarnya konsisten dengan kesepakatan internasional bagi perdagangan jasa yang ditetapkan dalam GATS – WTO. Karena keberadaan AFAS mendorong negara-negara ASEAN untuk
membuat komitmen melebihi apa yang telah diberikan dalam GATS.
Namun bagaimanakah sebenarnya hubungan antara kedua instrument tersebut, serta bagaimana letak interaksi keterkaitan antar keduanya serta bagaimana pengaruh kesepakatan regional AFAS tersebut dengan komitment mereka di GATS?
a. AFAS sebagai bagian regionalisme ekonomi
Dari segi struktural antara GATS dan AFAS sama sekali tidak berhubungan. Memang kita dapat kita lihat disini adalah bahwa aturanaturan AFAS yang ditetapkan tidak pernah lebih rendah dari batas minimum yang ditetapkan oleh GATS. Namun pada dasarnya hal sematamata untuk menghormati aturan GATS, dimana negara-negara Asean sendiri merupakan anggota dari GATS/WTO. Selain itu, memang pembentukan AFAS juga didasari dengan tekad untuk melakukan liberalisasi perdagangan jasa yang lebih dalam dibandingkan dengan komitmen yang ada di dalam GATS. Hal ini pun dikarenakan komitmen dalam GATS tentunya lebih sulit dilakukan, karna mencakup skala yang sangat luas, dibandingkan bila komitmen diberikan pada skala regional.
Dalam hal ini, lebih tepatnya AFAS membawahi dirinya dalam kerangka aturan GATS. hal ini dapat kita lihat dalam salah satu tujuan AFAS dalam artikel I ayat 3: “to liberalise trade in service by expanding the depth and scope of liberalization beyond those undertaken by member states under GATS with aim to realizing a free trade area in service”
Sebuah isu penting yang mewakili apa yang akan kami bahas pada bagian ini mengenai yaitu mengenai economic regionalism. ASEAN sebagai induk dari AFAS merupakan sebuah organisasi yang berbasis kawasan yaitu Asia Tenggara, dan dalam menerapkan liberalisasi perdagangan dalam hal ini jasa dilakukan dengan cakupan daerah regional mereka sendiri ASEAN. Sedangkan dalam tingkat yang lebih luas, mereka terikat terhadap GATS yang berada dalam naungan WTO. Inti dari isu ini adalah bagaimana status hukum antara aturan- aturan liberalisasi WTO yang berlaku terhadap Negara-negara ASEAN sebagai anggota WTO, terhadap kebijakan kebijakan ekonomi regional ASEAN yang hanya diterapkaan diantara para anggota organisasi regionalnya, dimana pemberlakuan kebijakan tersebut berbeda antara negara anggotanya dan non anggota.
Terkait regionalisme ekonomi terhadap perdagangan jasa, setidaknya ada tiga asas dalam GATS yang akan kami jadikan sorotan,hal ini karena asas tersebut menjadi titik paling rentan untuk terjadinya potensi benturan aturan liberalisasi perdagangan antara GATS sebagai aturan yang bersifat global terhadap penerapan AFAS yang menjadi aturan perdagangan jasa regional. Asas dasar tersebut diterapkan secara umum oleh GATS, pada dasarnya tidak Jauh berbeda dengan dengan apa yang ada didalam aturan AFAS, antara lain :1) MFN (prinsip non diskriminasi) yang diatur dalam artikel II; 2) Transparansi (artikel III); 3) bagian pengkajian procedural berkaitan dengan ketentuan peraturan domestic (artikel IV ayat 2); dan 4) pengakuan (artikel VII). Disamping empat ketentuan lain GATS tersebut, perlu dipahami pula dua ketentuan GATS lainnya, yaitu : Artikel XIX yang merupakan ketentuan liberalisasi progresif dan artikel IV ayat 4 berkaitan dengan kewajiban untuk mengembangkan disiplin tentang regulasi domestik.
Sedangkan dalam AFAS sendiri terdapat empat prinsip utama, yaitu: a) MFN (Most Favoured Nation) ; b) Non Discriminative ; c) Transparancy ; d) Progressive Liberalisation.
Dalam kaitan dengan perdagangan jasa di asia tenggara, maka AFAS dalam Hal ini adalah sebagai FTA yang berada dalam cakupan regional ASEAN. Disisi lain negara-negara Outsiders merupakan negaranegara didunia yang berada dalam cakupan perjanjian perdagangan Jasa. WTO yaitu GATS. Dari teori-teori yang telah kami kemukakan sebelumnya, AFAS sebagai FTA tentu saja juga tak lepas dari isu-isu diskriminasi terhadap negara-negara outsiders, dan isu mengenyampingkan bahkan ada yang mengatakan melanggar prinsip MFN. Dan mempertanyakan bagaimana bagaimana bersinkronisasi dengan GATS/WTO. Memang dalam kasus regionalisasi perdagangan jasa, perlu telaah dan kajian lebih lanjut yang berbeda, hal ini dikarenakan bentuk dari Jasa itu sendiri, dan tentu saja mengakibatkan insturumen pengaturannya berbeda sehingga proses liberalisasinya lebih rumit. Misalkan bila pada perdagangan barang GATS, 129 liberalisasi dilakukan secara menyeluruh, hanya dengan mengurangi tarif dan bea impor, maka sector jasa seperti dilakukan hanya berdasarkan kerelaan negara-negara yang bersangkutan dengan mengajukan sector yang dia anggap mampu bersaing, atau paling tidak dengan rekuest dari negara tertentu tanpa adanya prinsip resiprositas.
b. Analisis posisi AFAS sebagai bagian regionlisme ekonomi terhadap aturan
GATS/ WTO
Isu krusial yang difikirkan berkaitan dengan proses integrasi ekonomi adalah kemungkinan diskriminasi terhadap negara yang berada diluar anggota integrasi tersebut. Apalagi integrasi semisal ASEAN yang tidak melalui fase Costum Union. Sehingga terjadi diskriminasi tariff terhadap negara outsiders. Dalam perdagangan barang, hal ini memang hampir mutlak terjadi, Namun, hal ini dapat kita tinjau lebih jauh dalam sektor perdagangan jasa. Mengingat bentuknya, maka jasa ketika memasuki wilayah suatu negara, mode suplai nya tidaklah melalui bea cukai atau pelabuhan pengiriman seperti barang, tetapi melalui 4 moda seperti yang disebutkan pada bab-bab sebelumnya. Terlebih dahulu kita melihat, Bagaimana negara-negara ASEAN memberlakukan tarif perdagangan jasa, kemudian akan kita bandingkan degan pemberlakuan tariff oleh GATS/WTO.
Dalam melakukan liberalisasi terhadap perdagangan jasa di ASEAN, AFAS memberikan pendekatan liberalisasi yang dilakukan secara bertahap dan hati-hati sesuai dengan kondisi setiap negara. negosiasi dalam peliberalisasian sektor-sektor jasa dilakukan oleh Negara-negara ASEAN dilakukan dalam bentuk putaran yang dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun untuk menyepakati sejumlah paket komitmen. ASEAN telah melaksanakan negosiasi putaran ke-6 yang menghasilkan 8 paket komitmen. Dalam rangkaian negosiasi tersebut, setidaknya ada tiga metode pendekatan yang pernah digunakan. Pada putaran pertama (1996-1998), dengan menggunakan pendekatan permintaan dan penawaran (Request and Offer approach). Mengingat ini adalah putaran pertama, maka pendekatannya dimulai dengan pertukaran informasi antara negara ASEAN tentang komitmen yang telah mereka buat dalam GATS dan rezim perdagangan yang telah mereka berlakukan di negara masing masing.
Kemudian pendekatan Common sub-sector approach, yakni pendekatan yang didasari pada komitmen yang telah disepakati oleh minimal 4 negara ASEAN, baik dalam GATS maupun AFAS. jika subsektor tersebut telah disepakati oleh minimal 4 negara ASEAN, maka subsektor jasa tersebut harus terbuka dengan memberlakukan prinsip Most Favoured Nation. Pendekatan ini digunakan pada negosiasi putara kedua (1999-2001)
Dalam hal ini, setiap negara memiliki kewajiban untuk mencantumkan sektor-sektor mana saja yang ingin diliberalisasi oleh negara tersebut kedalam SOC yang mereka ajukan ke WTO tanpa adanya pemberlakuan prinsip resiprositas. Olehnya dikenal istilah positive list. Yaitu hanya bidang bidang yang diajukan saja yang dianggap disetujui untuk dibuka atau akan dibuka terhadap pemasok jasa asing sedang sektor yang tidak diajukan dalam SOC dianggap tidak disetujui oleh pihak untuk dileberalisasi dalam rangka perjanjian GATS ini. begitupun jika suatu negara ingin melakukan pembatasan-pembatasan terhadap pemasok jasa asing, maka negara tersebut wajib untuk mencantumkan secara eksplisit pembatasan-pembatasan tersebut kedalam SOC nya. Bila pembatasan tersebut tidak dicantumkan dalam SOC, maka dianggap tidak ada pembatasan atau larangan.
c. Perbandingan Komitmen Negara ASEAN untuk AFAS dan GATS
Untuk keperluan perbandingan, maka kami mengambil Indonesia yang merupakan salah satu Negara ASEAN dan juga terdaftar sebagai anggota WTO sebagai sampel. Kominten spesifik Indonesia pada putaran perundingan paket AFAS total mengajukan 10 sektor yaitu :
a. Sector Bussines service
b. Telecommunication services
c. Construction and related engineering services
d. Distribution services
e. Education services
f. Environmental services
g. Healthcare services
h. Tourism and travel related services
i. Transport services
j. Energy services
Untuk keperluan perbandingan, maka pada kami hanya akan membahas mengenai sektor telekomunikasi saja sebagai sampel.
Dalam komitmen spesifik yang diajukan negara-negara ASEAN pada setiap paket perundingan AFAS setiap subsektor yang diajukan untuk diliberalisasi, maka subsektor tersebut akan dilihat dari empat moda, apakah akan dibuka pada moda 1, 2, 3 atau moda 4 pada setiap item. Kemudian setiap item moda mengenai akses pasar maupun perlakuan nasional dapat berbentuk komitmen none, bound with limitations dan unbound. Secara singkat, None berarti tidak ada hambatan dalam artian dibuka sepenuhnya, bound with limitation, yaitu liberalisasi tapi dengan pembatasan tertentu yang disebutkan dalam komitmen dan hanya bersifat sementar, dan unbound yaitu sektor yang masih tertutup bagi penyedia jasa asing.
Dari perbandingan dan pemaparan diatas kita dapat melihat bagaimana negara-negara Asean dengan aturan regional AFAS nya tetap 150 saja sulit untuk memperlakukan sama antara penyedia jasa domestic negara-negara asean dengan negara-negara yang berada dibawah GATS diluar cakupan AFAS ASEAN. Dari pengamatan kami tentu saja sulit untuk menyeragamkan apa yang dikomitmenkan di AFAS dan GATS bukan saja karena keduanya dipayungi oleh aturan perdagangan bebas yang berbeda, sehingga mengakibatkan perbedaan komitmen, namun tentu saja juga hal ini sebagai umum dari regionalisasi ekonomi yang terjadi.
Dengan adanya perbedaan komitmen sebagaimana diatas, maka berdasarkan teori-teori regionalisasi ekonomi (FTA) serta analisis Vinerian yang kami paparkan sebelumnya, maka secara sederhana kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sektor perdagangan jasa Asean dengan payung hukum GATS pun sebenarnya tidak luput dari pelanggaran prinsip umum WTO yaitu MFN. Selain itu, AFAS sebagai perjanjian regional pun pada beberapa sektor membedakan perlakuan pada bidang dan moda yang sama antara penyedia jasa asean di lingkup GATS/WTO dan lingkup AFAS/ASEAN, sehingga bukan hal yang dapat disalahkan ketika dikatakan bahwa pemberlakuan AFAS di ASEAN pun mengakibatkan pemberlakuan yang diskriminatif antara penyedia jasa ASEAN dengan penyedia jasa dari negara-negara diluar ASEAN, dan sebagaimana teori tentang regionalism ekonomi yang dipaparkan sebelumnya bahwa hal ini merupakan akibat dari pemberlakuan regionalisme ekonomi.
Namun mengenai pelanggaran umum tentang prinsip-prinsip MFN dan diskriminasi oleh GATS masih dapat dibantahkan dengan beberapa argumentasi. Tak dapat dipungkiri, sebagai bidang yang pengaturannya masih sangat muda, bidang jasa masing sangat terbelakang dalam hal regulasi perdagangan. Hal yang paling mencolok yang mengindikasikan masih jauhnya liberalisasi perdagangan jasa untuk teliberalisasi secara penuh, atau minimal mendekati perdagangan bebas barang dapat dilihat dari adanya penerapan MFN Exemption dalam pengajuan komitmen-komitmen baik di GATS maupun AFAS.
Secara umum, memang AFAS telah melanggar prinsip-prinsip umum dalam WTO, semisal prinsip non diskriminasi MFN. Namun secara aturan berbagai pengecualian pengecualian yang dibuat oleh aturan GATS terhadap perdagangan jasa, semisal penerapan MFN Exemption menjadikan pengesampingan prinsip non Diskriminasi terhadap perdagangan jasa menjadi hal yang legal untuk dilakukan. Meskipun secara umum, hal ini memang tidak lepas dari kritik dimana John Jackson (1994: 134-135) mengkritik bahwa ketidak jelasan dalam pemberian pengecualian bagi beberapa negara anggota untuk tidak mematuhi ketentuan tertentu – terutama dalam soal pemberian status MFN (Most
Favoured Nation), GSP (Generalized Standart Of Preferences), tarif khusus dan lain lain, sebagai salah satu suatu kelemahan dari WTO itu sendiri.
Pada dasarnya pengecualian-pengecualian dalam sistem MFN dalam perdagangan jasa seperti yang disebutkan sebelumnya sebagai akibat luas dan rumitnya pengaturan perdagangan jasa dalam aturan GATS, yang artinya prinsip ini pun tidak berlaku mutlak. Dari dari pengecualian inilah kemudian kemudahan-kemudahan didapatkan dalam menjalankan liberalisasi perdagangan secara terpisah yang dilakukan oleh negara-negara dalam tingkat pesatuan ekonomi regional.
Persyaratan yang ditentukan oleh pasal V GATS tersebut adalah sebagai berikut :
1. Harus meliputi banyak sektor
2. Penghapusan ketentuan diskriminatif yang ada dan/atau pelarangan tindakan baru yang diskriminatif;
3. Tidak meningkatkan hambatan perdagangan jasa secara keseluruhan pada sektor atau subsektor dibandingkan dengan tingkat hambatan yang ada sebelum diadakannya kerjasama;
4. Pemasok jasa yang bebentuk badan hukum milik negara bukan anggota kerjasama yang berusaha dibanyak sektor harus diperlakukan sama dengan ketentuan kerjasama;
5. Apabila kerjasama regional tersebut dibentuk antara sesama negara berkembang, kepada mereka harus diberikan fleksibilitas sesuai dengan tingkat pembangunannya.
6. Apabila suatu negara memperoleh keuntungan dengan adanya kerjasama regional yang dibentuk, anggota kerjasama tersebut tidak boleh meminta kompenisasi dari anggota yang memperoleh keuntungan itu.
Dari sini kita dapat melihat bahwa negara-negara dalam lingkup AFAS serta organisasi-organisasi ekonomi lainnya mendasari regionalisasi ekonomi mereka serta akibatnya pada artikel V GATS bahwa selama hal itu berkaitan dengan pembentukan perjanjian integrasi ekonomi, maka prinsip MFN dapat dikesampingkan. Selain itu adanya pengaturan tentang MRA (Mutual Recognition Agreemen) antara dua negara atau lebih merupakan hal yang diperbolehkan dalam WTO (Artikel VII) GATS. sehingga perlakuan yang berbeda dengan negara diluar perjanjian MRA tersebut dapat diberlakukan dengan legal dalam aturan GATS. Artikel II GATS mengatur mengenai MFN. Artikel tersebut mensyaratkan bahwa setiap negara anggota WTO untuk memperlakukan sama terhadap semua negara anggota WTO berkaitan dengan tindakantindakan yang mempengaruhi perdagagangan jasa. Dengan kata lain melarang adanya persetujuan resiprositas.
2. Penerapan prinsip dan mekanisme AFAS terhadap negara-negara
ASEAN
AFAS pada awalnya juga hanya diperuntukkan bagi kalangan industri jasa dari negara-negara anggota ASEAN (disebut AMS – ASEAN Member States). Disepakati oleh para menteri ekonomi ASEAN pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand. Tujuan-tujuan AFAS adalah: (a) Meningkatkan kerjasama dalam sektor jasa di antara negaranegara anggota ASEAN (AMS) guna memperbaiki efisiensi dan daya saing industri-industri jasa ASEAN, memberagamkan kapasitas produksi dan suplai, serta distribusi sektor jasa; (b) Menghapus hambatan substansial dalam perdagangan jasa-jasa; (c) Meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperluas cakupan dan kedalaman liberalisasi di atas yang telah disepakati di GATS-WTO – disebut juga prinsip GATS-plus; (d) Menyediakan pengakuan akan pendidikan atau pengalaman, persyaratan, lisensi atau sertifikat yang akan diatur dalam pengaturan tersendiri (disebut Mutual Recognition Arrangement/MRA).
Di dalam AFAS, diadakan putaran-putaran perundingan berkelanjutan untuk terus meliberalisasi perdagangan jasa guna mencapai komitmen yang lebih tinggi. Hasilnya berupa jadual komitmen spesifik (schedules of specific commitments) yang menjadi lampiran dari kerangka perjanjian. Jadwal tersebut kemudian yang disebut sebagai paket komitmen jasa (packages of Services commitments). ASEAN telah menyelesaikan lima putaran perundingan yang menghasilkan tujuh paket, dan terakhir yang merupakan paket ke-8 di tahun 2012. Keseluruhan komitmen tersebut mencakup liberalisasi jasa bisnis, jasa profesional, konstruksi, distribusi, pendidikan, jasa lingkungan, pelayanan kesehatan, transport maritim, telekomunikasi dan turisme. Ada lagi tambahan tiga paket komitmen mengenai jasa keuangan yang ditandatangani oleh para menteri keuangan ASEAN, serta dua paket tambahan mengenai transportasi udara yang ditandatangani oleh para menteri perhubungan ASEAN
1. Penerapan prinsip AFAS
Dibagian awal ini selanjutnya kita akan membicarakan mengenai bagaimana penerapan prinsip AFAS terhadap pelaksanaan mekanisme AFAS itu sendiri. Mengenai penerapan prinsip prinsip AFAS, pada pembahasan masalah sebelumnya kita telah menyebutkan mengenai prinsip-prinsip AFAS, bahwa dalam AFAS sendiri terdapat empat prinsip utama, yaitu:
· MFN (Most Favoured Nation) Treatment- kemudahan yang diberikan kepada suatu negara berlaku juga untuk semua negara lain.
· Non Discriminative - pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian;
· Transparancy - setiap negara anggota wajib mempublikasikan semua peraturan, perundang-undangan, pedoman pelaksanaan dan semua keputusan/ketentuan yang berlaku secara umum yang dikelurkan oleh pemerintah pusat maupun daerah
· Progressive Liberalisation – liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi setiap negara anggota.
Pada bagian masalah pertama kita telah membahas mengenai konflik yang terjadi dalam penerapan prinsip prinsip GATS terhadap regionalism perdagangan, dimana GATS memberikan pengecualian prinsip dalam aturannya sebagai jalan untuk mengakomodasi regionalisme ekonomi seperti AFAS.
Keempat prinsip tersebut tentu saja sangat penting sebagai dasar dari penyusunan kesepakatan kesepakatan pada paket perundingan AFAS. Meskipun demikian, sebagaimana yang telah diketahui bahwa prinsipprinsip yang diterapkan pada kesepakatan perdagangan jasa tidaklah semutlak penerapan prinsip dalam perdagangan barang. Begitupun dalam penerapan prinsip-prinsip di AFAS. Prinsip dalam AFAS memang penting sebagai dasar dalam membuat dan mengajukan kesepakatan kesepakatan dalam komitmen yang diajukan, tetapi penerapannya sendiri bersifat regional untuk kawasan Asia Tenggara atau negara-negara yang tergabung dalam kesepakatan AFAS.
Mengenai prinsip Most Favored Nation (MFN), bahwa perdagangan internasional harus dilakukan tanpa diskriminasi. Apabila suatu negara anggota memberikan konsesi kepada suatu negara anggota, maka konsesi tersebut harus pula diberikan kepada negara anggota lain tanpa diskriminasi
2. Penerapan mekanisme AFAS
Dalam memfasilitasi aliran bebas sektor jasa pada 2015, ASEAN juga telah mempersiapkan beberapa mekanisme pelaksanaannya, yaitu:
· Mengurangi substansial seluruh hambatan dalam perdagangan jasa untuk empat sektor prioritas bidang jasa, yaitu transportasi udara, eASEAN, kesehatan, dan pariwisata. Pada 2010 dan untuk sektor prioritas kelima, yaitu jasa logistik, pada 2013
· Menguranggi secara substansial seluruh hambatan perdagangan jasa pada 2015
· Melaksanakan liberalisasi perdangnan jasa melalui putaran negoisasi setiap 2 tahun hingga 2015, yaitu, 2008, 2010, 2012, 2014, 2015.
· Menargetkan jadwal jumlah minimum subsektor jasa barui yang harus dipenuhi pada setiap putaran, yaitu 10 subsektor pada 2010, 15 subsektor pada 2012, 20 subsektor pada 2012, 20 subsektor pada 2014, 7 subsektor pada 2015, yang didasarkan pada klasifikasi umum perjanjian umum perdagangan jasa WTO (GATS).
3. Pengaruh liberalisasi perdagangan Jasa AFAS terhadap peningkatan
Industri jasa dalam negeri
Perjanjian liberalisasi perdagangan dalam konteks AFAS telah berjalan cukup lama yaitu sejak tahun 1996 hingga saat tulisan ini ditulis yaitu 2012 telah berjalan dalam kurun waktu 16 tahun. Selama 16 tahun tersebut, negara-negara ASEAN telah berhasil menyelesaikan 5 paket putaran perundingan AFAS yang terdiri dari 7 paket komitmen dan kini sejak tulisan ini ditulis, putaran perundingan ke 6 yang menegosiasikan kesepakatan AFAS paket 8 sedang dirampungkan. Liberalisasi perdagangan jasa di ASEAN dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang kompetitif sehingga proses penyediaan jasa dapat berlangsung secara lebih baik dan efesien. Ekonomi modern sangat bergantung pada pelayanan jasa yang cepat dan efesien untuk memfasilitasi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya.
Melalui liberalisasi bidang jasa secara progresif, maka para penyedia jasa domestik akan mendapatkan keuntungan karena semakin terbukanya akses pasar. Para penyedia jasa juga akan memetik manfaat dari proses dan gagasan baru yang muncul akibat semakin terbukannya sektor jasa.7
Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan oleh pemerintah yang secara khusus membahas permasalahan terkait dengan dampak dan pengaruh dari kesepakatan kesepakatan negara-negara dalam AFAS untuk membuka sektor-sektor jasa tertentu terhadap perkembangan industri jasa yang bersangkutan. Kebanyakan penulis hanya menemukan literature-literatur yang membahas mengenai kemungkinan akibat yang akan ditimbulkan dengan pembukaan sektor-sektor tersebut terhadap industri jasa dalam negeri dari sektor-sektor yang akan dibuka. Pada kesempatan ini, penulis akan memaparkan bagaimana perkembangan sektor industri jasa dari waktu ke waktu sejak diadakannya perjanjian AFAS oleh negara-negara ASEAN.
Liberalisasi bidang jasa di ASEAN dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang kompetitif sehingga proses penyediaan jasa dapat berlangsung secara lebih baik dan efesien. Ekonomi modern sangat bergantung pada pelayanan jasa yang cepat dan efesien untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi lainnya. Manfaat liberalisasi perdagangan dibidang jasa adalah potensi keuntungan yang dapat diraih oleh ASEAN dari liberalisasi bidang jasa sangatlah tinggi. Melalui proses liberalisasi, maka investasi dibidang jasa yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi, dan diharapkan akan semakin meningkat. Sebagai catatan, pada tahun 2008 pendapatan sektor jasa di ASEAN mencapai 50% dari total arus Foreign Direct Investment jasa di ASEAN atau sekitar USS 33,5 miliar. Peningkatan investasi dibidang jasa di ASEAN tentunya akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan dan kemajuan sektor perekonomian lainnya di kawasan seperti sektor keuangan, telekomunikasi, distribusi, dan transprotasi.
Ekspor sektor jasa intra ASEAN cendrung mengalami peningkatan setiap tahunnya karena para eksportir sektor jasa intra ASEAN ingin mengikuti keberhasilan yang telah dicapai dalam bidang ekspor barang. Melalui liberalisasi bidang jasa secara progresif di ASEAN, maka bidang jasa akan memiliki peran yang lebih besar dan semakin penting dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, memperluas basis ekonomi, serta meningkatkan kontribusi terhadap ekspor. Tantangan yang dihadapi berkaitan dengan inovasi dan perkembangan teknologi baru, penyesuaian terhadap standar internasional guna meningkatkan daya saing dan efesiensi, peningkatan arus perdagangan dan investasi, serta pengembangan sumber daya manusia di ASEAN.
Potensi keuntungan yang dapat diraih oleh ASEAN dari liberalisasi bidang jasa sangat tinggi. Melalui proses liberalisasi, maka investasi dibidang jasa yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi, diharapkan akan semakin meningkat. Sebagai catatan, pada tahun 2008 pendapatan sektor jasa di Asean mencapai 50 % dari total arus Foreign Direct investment (FDI) Asean atau sekitar US$ 33,5 miliar. Perkembangan investasi bidang jasa di Asean tentunya akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan kemajuan sektor perekonomian lainnya di kawasan seperti sektor keuangan, telekomunikasi, distribusi dan transportasi.8
Asean juga akan mendapatkan manfaat dengan masuknya arus teknologi, pengetahuan baru dan keterampilan manajemen sebagai akibat dari adanya aliran bebas bidang jasa. Perdagangan bidang jasa intra asean diharapkan akan terus meningkat dan berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi kawasan. Kunci utamannya adalah asean harus melaksanakan liberalisasi bidang jasa secara progresif dan tertata dengan baik agar tercipta perluasan kapasitas produksi dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
Sejak ditandatanganinya kesepakatan AFAS yang selanjutnya diimplementasikan melalui paket perundingan AFAS sejak tahun 1998 hingga 2007, perdagangan internasional bidang jasa asean meningkat cukup tinggi. Ekspor sektor jasa ASEAN meningkat sebesar US$ 57,4 miliar pada tahun 1998 menjadi US$ 153,2 miliar pada tahun 2007 atau meningkat sekitar 167 %. Sementara impor sektor jasa Asean dari pasar internasional meningkat dari 66,5 miliar pada 1998 menjadi US$ 176,3 miliar pada tahun 2007 atau meningkat sebesar 165 %. Impor sektor jasa ASEAN mengalami kenaikan tajam, siring dengan meningkatnya kegiatan investasi asing ke ASEAN yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan jasa asing seperti perawatan mesin-mesin dan tenaga ahli.
Dari apa yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa perdagangan jasa untuk lingkup perdagangan intra ASEAN telah berkembang sangat pesat, hal ini juga telah ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang tergabung dalam perdagangan jasa intra ASEAN tersebut yang ditandai dengan meningkatnya porsi sumbangan PDB negara negara Asean dari sektor perdagangan jasa terhadap total nilai PDB masing masing. Hal ini terjadi sebagai akibat dari perkembangan volume perdagangan jasa yang terjadi sebagai imbas dari semakin dibukanya sektor sektor perdagangan jasa untuk bersaing secara bebas yang memancing pelaku pasar untuk lebih ekspansif dalam perdagangan jasa.
Dalam hubungannya dengan perjanjian perdagangan AFAS, tentu saja Indonesia membutuhkan pasar yang terbuka di negara-negara tujuan ekspor untuk meningkatkan kinerja ekspornya pada bidang jasa jasa sehingga dapat menipiskan dan menghilangkan defisit neraca perdagangan jasanya. Sejauh ini, dari tahun ke tahun Indonesia telah berhasil meningkatkan jumlah kuantitas perdagangan jasa mereka dan seiring dengan semakin banyaknya sektor-sektor jasa yang di buka oleh negaranegara Asia Tenggara daam rangka perjanjian AFAS, maka akan semakin mudah bagi Indonesia untuk meningkatkan jumah ekspor jasa mereka ke negara-negara ASEAN yang bila dibarengi dengan peningkatan kualitas jasa dalam negeri untuk bersaing dengan jasa luar yang masuk ke indonesia, sehingga kita dapat sekaligus memenuhi permintaan jasa dalam negeri sehingga menekan impor.
Hal ini dengan sendirinya akan mengurangi defisit neraca perdagangan jasa di IndonesiaBagi Indonesia, AFAS memberikan peluang kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuhan. Lebih jauh lagi, peluang yang diperoleh adalah akses yang lebih baik pada teknologi, jasa pasokan dan kompetisi domestik yang lebih tinggi, serta transfer dari know how dan teknologi melalui investasi. kompetisi industri jasa selain ditentukan oleh modal, teknologi dan SDM yang berkualitas, perubahan industri jasa ditentukan pada sektor mana yang akan dibuka dan efektifitas peraturan yang ditetapkan pemerintah. Untuk sektor telekominikasi, kompetisi mendorong perluasan area telekomunikasi, menurunkan permintaan perbaikan, meningkatkan tingkat pemenuhan panggilan, dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menerima sambungan telpon. Pada sektor angkutan darat, reformasi telah meningkatkan perluasan ruas jalan, dipelabuhan dan akan mempersingkat waktu tunggu berlayar dan lain-lainnya.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang penulis telah uraikan kedalam pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut
1. Terlihat bagaimana negara-negara Asean dengan aturan regional AFAS nya tetap saja sulit untuk memperlakukan sama antara penyedia jasa domestic negara-negara asean dengan negara-negara yang berada dibawah GATS diluar cakupan AFAS ASEAN. Dari pengamatan kami tentu saja sulit untuk menyeragamkan apa yang dikomitmenkan di AFAS dan GATS bukan saja karena keduanya dipayungi oleh aturan perdagangan bebas yang berbeda, sehingga mengakibatkan perbedaan komitmen, namun tentu saja juga hal ini sebagai akibat dari posisi ASEAN dengan regionalisasi ekonomi jasa dengan AFAS yang dibentuknya.
2. Dalam Penerapan prinsip prinsip AFAS, bahwa dalam AFAS sendiri menerapkan prinsip sebagaimana yang ada didalam WTO. Terdapat empat prinsip utama, yaitu MFN (Most Favoured Nation), Non Discriminative, Transparancy, dan Progressive Liberalisation. Prinsip Most Favored Nation sendiri tidak berlaku mutlak. Terdapat kemungkinan kemungkinan dimana prinsip ini dapat dikesampingkan. Salah satunya adalah bahwa setiap negosiasi paket AFAS sendiri selain komitmen Schedule Of Specific Commitment dan Horizontal Commitment dikenal adanya MFN Exemption. MFN Exemption ini memuat hal hal dimana kewajiban MFN dari suatu negara anggota dikecualikan. Pengecualian ini harus sesuai dengan persyaratan sebagaimana tertuang dalam pasal II GATS mengenai MFN.
3. Bila kita melihat nilai ekspor perdagangan jasa, sebagai indikator perkembangan industri dan produksi jasa dalam negeri, maka kita akan menemukan bahwa bahwa pada tahun 2007 nilai kontribusi sektor jasa terhadapa PDB Indonesia kurang lebih mencapai 43%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perdagangan jasa di indonesia berkembang cukup pesat dan berpengaruh terhadap ekonomi dalam negeri, akan tetapi laporan triwulan ke 3 yang dikeluarkan oleh bank Indonesia, disebutkan bahwa neraca perdagangan jasa Indonesia masih mengalami devisi sebesar USD2,4 Miliar bila dibandingkan dengan impor jasa kita. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri jasa dalam negeri masih tertinggal dan masih harus berjuang keras bersaing dengan penyedia jasa asing ASEAN seperti Singapura, Thailand dan Malaysia
2. Saran
1. Setelah diberlakukannya kesepakatan kesepakatan dalam negosiasi AFAS, maka untuk meminimalisir dampak perbedaan tariff yang didapat oleh Negara-negara non ASEAN, maka ASEAN perlu mengakomodasi Negara-negara yang berada diluar konteks ASEAN, dengan semakin memperbanyak kerjasama antara ASEAN dengan Negara-negara mitra diluar ASEAN. Kerjasama External semisal Agreement on Trade in Service (TIS) under The Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN and China, yang merupakan perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan China. Hendaknya perjanjian seperti ini di perbanyak dengan calon mitra potensia ASEAN.
2. Untuk penerapan prinsip dan mekanisme AFAS, pada pelaksanaan prinsip AFAS, Negara Negara ASEAN agar lebih aktif untuk memperbaiki sektor jasa dalam negeri mereka agar mereka secara bertahap dapat mengurangi jumlah MFN list yang diajukan dalam komitmen MFN AFAS mereka. Kemudian dalam pelaksanaan mekanisme AFAS, hendaknya Negaranegara ASEAN lebih berpartisipasi Aktif untuk lebih berusaha dalam memenuhi semua target tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam melakukan liberalisasi berdasarkan mekanisme-mekanisme AFAS yang telah diatur, agar pelaksanaan mekanisme yang telah diatur sebelumnya dapat berjalan dengan lebih efektif.
E. Referensi
Adolf, Huala dan A. Chandrawulan.Masalah-masalah hukum dalam perdagangan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1999.
Arifin, Sjamsul (dkk). Kerja sama perdagangan Internasional: peluang dan tantangan bagi Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004.
Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Fandy Tjiptono,Manajemen Jasa, Yogyakarta: Andy, 2006.
H.S Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, 1997.
Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2004.
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular.
2 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011, hlm.31
3 Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, Dirjen Kerja Sama ASEAN, Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2009, hlm. 73
4 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011, hlm.31.
5 H.S Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, 1997, hal 4211
6 Fandy Tjiptono,2006, Manajemen Jasa, Andy, Yogjakarta. hal 4109
7 Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 78.
8 Adolf , Huala dan A. Chandrawulan. Masalah-masalah hukum dalam perdagangan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1999, hal. 23.