KAJIAN PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT
DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT SIPIL
DI INDONESIA
Oleh :
Widiyanto P.1
Abstract
Non-Governmental Organization is defined as an organization founded by individual or a group of individuals, which in voluntary, nonprofit manner provide service to common people. In the concept of civil society, the NGO is characterized by independence of governmental aids, playing a significant role in strengthening democratic movement process by empowering the civil society by means of assistance, and advisory activities.
From their prominent status, the NGOs must be able to play roles of improving the current condition, in order to create a strong and independent civil society, by people empowerment, public advocation, as well as local policies monitoring. The existence and the role of NGOs in Indonesia had contributed good merits to a stronger civil society. However, not all of them had shown such intended manner as some of the NGOs were still deflecting their basic functions.
A study on the roles of the NGOs in Indonesia resulted in some unintended role distortions of the organizations in implementing their duties, such as profit-oriented motives, lacking financial resources and professionalism, varied professional background of the activists involved, unclear ideological concepts and loosened regulation that constrained the organizations. Therefore, efforts must be taken into account in order to get the NGOs’ roles to their expected track, as the civil society playmaker. The efforts may take forms reposition, either internally or externally.
Keywords: Non-Governmental Organization, Civil Society.
ABSTRAK
LSM secara umum diartikan sebagai sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Dalam konsep civil society karakteristik LSM yang bercirikan: mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah, dipandang dapat memainkan peran yang sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melalui perannya dalam pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan dan penyadaran.
Dalam konsep civil society, kondisi masyarakat di Indonesia sangat jauh dari prinsip kemandirian. Independensi masyarakat terhadap pemerintah, yang merupakan prinsip utama dalam membangun civil society tidak terlihat. Dominasi pemerintah terlihat jelas dalam perumusan kebijakan, sementara dalam implementasi kebijakan banyak terjadi manipulasi yang merugikan masyarakat.
Dalam kondisi semacam ini seharusnya LSM dapat mengambil peran untuk memperbaiki kondisi yang ada, dalam rangka menciptakan civil society yang kuat dan mandiri, melalui peran-peran pemberdayaan masyarakat, advokasi public dan pengawasan kebijakan pemerintahan daerah. Eksistensi dan peran LSM di Indonesia telah memberikan warna dalam upaya-upaya memperkuat civil society. Namun tak semua LSM berperan sebagaimana seharusnya, yaitu sebagai pilar hadirnya civil society. Beberapa LSM justeru melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari fungsinya.
Dari hasil penelitian, distorsi peran LSM di Indonesia terjadi karena beberapa faktor yaitu: adanya motif mencari keuntungan, ketiadaan sumber dana dan rendahnya profesionalisme, latar belakang profesi aktivis yang beraneka ragam, konsep idelogi yang tidak jelas serta regulasi yang terlalu longgar. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengembalikan kembali peran LSM sebagai pilar civil society yang dapat dilakukan melalui reposisi internal dan eksternal.
Kata Kunci: Lembaga Swadaya Masyarakat, Masyarakat Sipil.
A. Latar Belakang
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau sering disebut dengan nama lain Non Government Organization (NGO) atau organisasi non pemerintah (Ornop) dewasa ini keberadaanya sangat mewarnai kehidupan politik di Indonesia. Diperkirakan saat ini lebih dari 10.000 LSM beroperasi di Indonesia baik ditingkat nasional, propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, dimana dari tahun ketahun jumlah ini semakin bertambah.2
Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan ekonomi dan kemajuan teknologi informasi merupakan faktorfaktor yang mendorong terus bertambahnya jumlah LSM di Indonesia. Bergulirnya era reformasi menggantikan era orde baru dikuti pula dengan peningkatan jumlah LSM. Jika pada tahun 1997 ditaksir ada sekitar 4000-7000 LSM, maka pada tahun 2002 jumlah LSM menurut Departemen Dalam Negeri menjadi sekitar 13.500 LSM.
Iklim segar yang dibawa oleh angin reformasi menciptakan keleluasaan yang luas dalam upaya-upaya penyaluran aspirasi. Kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan berkumpul dijamin penuh oleh undang-undang. Dominasi pemerintah pada masa orde baru yang dijalankan melalui depolitisasi atau partisipasi terkontrol yang bertujuan untuk menjamin hegemoni pemerintah dan mengontrol masyarakat melalui pembatasan kegiatan partai politik dan organisasi sosial dengan dalih menciptakan kestabilan politik, semakin terkikis oleh tuntutan-tuntutan untuk mengurangi fungsi kontrol pemerintah terhadap masyarakat dan dilain pihak meningkatkan kemandirian masyarakat dalam segala aspek kehidupan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan bidang-bidang lainnya.
Ruang politik yang semakin terbuka lebar pada era reformasi, seiring dengan diberikannya kebebasan yang luas memberikan kesempatan pada kelompok-kelompok masyarakat untuk berekspresi dalam berbagai bentuk organisasi sosial politik non pemerintah dengan mengusung berbagai asas dan tujuan masing-masing. Tidak ada lagi hegemoni ideologi yang dijalankan lewat berbagai undang-undang yang mendudukan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi seperti pada masa orde baru yang menyebabkan aktifitas LSM dan organisasi sosial politik lainnya berada dalam ruang yang sempit. Partai-partai politik dengan latar belakang berbagai ideologi bermunculan, dengan dimulainya era kebebasan ini. Organisasi-organisasi sosial politik termasuk LSM tumbuh dengan subur. LSM secara umum diartikan sebagai sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Menurut Budi Setyono, LSM merupakan lembaga/organisasi non partisan yang berbasis pada gerakan moral (moral force) yang memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan politik. LSM dipandang mempunyai peran signifikan dalam proses demokratisasi.
Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan karakteristik khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor politik-pemerintah maupun swasta (private sector), sehingga mampu menjalankan tugas tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor tersebut.
Berbeda dengan organisasi politik yang berorientasi kekuasaan dan swasta yang berorientasi komersial, secara konsepsional, LSM memiliki karakteristik yang bercirikan: nonpartisan, tidak mencari keuntungan ekonomi, bersifat sukarela, dan bersendi pada gerakan moral. Ciri-ciri ini menjadikan LSM dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi oleh ikatan-ikatan motif politik dan ekonomi.
Ciri-ciri LSM tersebut juga membuat LSM dapat menyuarakan aspirasi dan melayani kepentingan masyarakat yang tidak begitu diperhatikan oleh sektor politik dan swasta. 3
Kemunculan LSM merupakan reaksi atas melemahnya peran kontrol lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik, dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya LSM, terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan LSM adalah bagaimana mengontrol kekuasaan Negara, tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah. Meuthia Ganie-rochman menyebut pola hubungan LSM pada masa ini sebagai pola hubungan yang konfliktual, dimana dari sisi pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi LSM
Namun dalam sistem politik yang demokratis, LSM dan pemerintah dapat bersama-sama memberikan sumbangan penting dalam hal peningkatan hak-hak rakyat. Perubahan yang dibawa era reformasi menyebabkan wajah kekuasaan menjadi tidak sesolid dulu, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengungkapkan pikiran dan tuntutannya. Dengan kehidupan politik yang lebih demokratis saat ini, membuat banyak LSM mulai meninggalkan strategi konfrontatif dengan pemerintah, dengan cara berusaha menjalin kerjasama dengan pemerintah ketika peluang politik tersedia. LSM saat ini tidak lagi memandang pemerintah setajam dulu, meskipun demikian masih terdapat kesadaran luas dikalangan LSM bahwa pemerintah tetap potensial menjadi pengekang rakyat.
Menurut Afan Gaffar, LSM mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society.
Muhammad AS Hikam memandang bahwa LSM dapat memainkan peran yang sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melalui perannya dalam pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan dan penyadaran. Berbicara mengenai LSM sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari civil society, karena LSM merupakan tulang punggung dari civil society yang kuat dan mandiri. Sedangkan pemberdayaan civil society merupakan sine qua non bagi proses demokratisasi di
Indonesia.4
Tatanan sosial atau masyarakat yang memiliki peradaban (civilization) dimana didalamnya terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan berdasarkan berbagai ikatan yang sifatnya independen terhadap negara. Kegiatan masyarakat sepenuhnya bersumber dari masyarakat itu sendiri, sedangkan negara hanya merupakan fasilitator. Akses masyarakat terhadap lembaga negara dijamin dalam civil society, artinya individu dapat melakukan partisipasi politik secara bebas. Warga Negara bebas mengembangkan dirinya secara maksimal dan leluasa dalam segala aspek kehidupan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan bidangbidang lainnya.
Menurut Einstadt dalam Afan Gaffar civil society memiliki empat komponen sebagai syarat; pertama Otonomi, kedua akses masyarakat terhadap lembaga Negara, ketiga arena publik yang bersifat otonom dan keempat arena publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. . Berdasarkan komponenkomponen tersebut, civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Diantara organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi adalah LSM dan media massa. LSM memiliki tingkat keleluasaan bergerak, serta kebebasan dan kemandirian yang cukup tinggi yang dapat dijadikan sumber daya politik yang potensial dalam menyiapkan civil society.
Berbagai isu mengenai partisipasi politik, kesenjangan sosial, pemberdayaan masyarakat, kebijakan pembangunan sampai dengan penyimpangan proyek dan penanganan korupsi menjadi perhatian serius sebagian elemen masyarakat. Kondisi masyarakat sangat jauh dari konsep civil society yang mempersyaratkan adanya kemandirian, kebebasan dan keleluasaan dalam masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan yang juga menjadi salah satu ciri dari civil society sangatlah tidak memadai. Misalnya dalam kasus Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Baik Musrenbang di tingkat kecamatan maupun kabupaten memang dilaksanakan dengan mengundang elemen masyarakat, hasil Musrenbang juga dituangkan dalam dokumen resmi.
Dalam kondisi semacam ini seharusnya LSM dapat mengambil peran untuk memperbaiki kondisi yang ada, dalam rangka menciptakan civil society yang kuat dan mandiri. Menurut Adi Suryadi LSM dapat memilih sikap pertama sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power). Peranan ini tercermin pada upaya LSM mengontrol, mencegah, dan membendung dominasi dan manipulasi pemerintah terhadap masyarakat. Peranan ini umumnya dilakukan dengan advokasi kebijakan lewat lobi, pernyataan politik, petisi, dan aksi demonstrasi.
Kedua, sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian kelompokkelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi. Peranan ini umumnya dilakukan dengan cara pendidikan dan latihan, pengorganisasian dan mobilisasi masyarakat. Ketiga, sebagai lembaga perantara (intermediary institution) yang dilakukan dengan mengupayakan adanya aksi yang bersifat memediasi hubungan antara masyarakat dengan pemerintah atau negara, antara masyarat dengan LSM dan antar LSM sendiri dengan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka rumusan masalah penelitian yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah pola relasi antara lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah dan masyarakat di Indonesiadalam konteks civil society?
2. Mengapa terjadi distorsi peran lembaga swadaya masyarakat di Indonesia?
3. Bagaimanakah upaya-upaya untuk menguatkan kembali peran LSM dalam konteks civil Society di Indonesia?
C. Pembahasan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah satu bentuk organisasi kemasyarakatan. Pada umumnya Lembaga Swadaya Masyarakat adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Sebutan LSM sendiri merupakan pengembangan dari istilah Ornop (organisasi non pemerintah) yang merupakan terjemahan langsung dari istilah bahasa Inggris Non Government Organization (NGO).
1. Pola Relasi Antara LSM, Civil Society dan Pemerintah Daerah
Menurut Afan Gaffar, civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial seperti partai politik atau kelompok kepentingan, yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi yang mampu mengisi public sphere yang ada diantara negara dan rakyat, sehingga akhirnya kekuasaan Negara menjadi terbatasi. Public sphere atau ruang publik diartikan sebagai suatu ruang diantara Negara dan masyarakat dimana warga masyarakat dapat dengan leluasa melakukan aktifitas sosial, politik dan ekonomi tanpa didominasi oleh sekelompok kecil orang.
Organisasi-organisasi sosial-politik tersebut harus bersifat mandiri dan mampu melihat kebutuhan dari masyarakat, sehingga masyarakat yang cenderung belum mendapatkan pengakuan hak-haknya, bisa mendapatkan haknya baik dari segi sosial-politik, advokasi maupun kesejahteraan umum.
Dalam kehidupan pemerintahan daerah, dari empat peranan yang dapat dimainkan oleh LSM menurut Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna dapat diidentikasikan peranan yang dijalankan LSM-LSM Grobogan yaitu: katalisasi perubahan system, memonitor pelaksanaan system dan penyelenggaraan Negara, memfasilitasi rekonsiliasi warga dengan lembaga peradilan dan yang terakhir adalah implementasi program pelayanan.5
Dalam pola hubungan ini, pada praktiknya LSM melaksanakan program dan proyek-proyek pemerintah. Pemerintah menyediakan dana sedangkan LSM membantu dengan keahlian mereka. Namun, kebanyakan LSM jenis ini memiliki ketergantungan terhadap pemerintah terutama dari segi financial dan pendanaan program. Pada akhirnya LSM berkewajiban melaksanakan seluruh program pemerintah sebagaimana yang telah ditentukan oleh pemerintah, tanpa mampu mengembangkan ataupun memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada di lapangan. Oleh Mansour Fakih LSM Semacam ini dikritik sebagai LSM yang masih terkungkung dalam paradigma pembangunannisme (developmentalism) yang tidak kritis terhadap masalah-masalah ketimpangan structural, partisipasi dan
ketergantungan dari pihak luar.
LSM yang seharusnya berperan sebagai actoraktor dalam gerakan sosial, justeru menampakan diri sebagai agen-agen subkontraktor pembangunan dari lembaga-lembaga milik pemerintah. LSM seharusnya memiliki sumber dana sendiri selain dari pemerintah, dalam melaksanakan program-program pemberdayaan dan pelayanan masyarakat. Model kedua adalah hubungan yang bersifat containment/sabotage/ dissolution, dimana pemerintah melihat LSM sebagai tantangan, bahkan ancaman. Pemerintah dapat mengambil langkah tertentu untuk membatasi ruang gerak LSM. Dalam contoh kasus penangkapan aktivis LSM Teguh Tri Haryono oleh polisi karena terlibat dalam tindak pidana ringan sehingga sempat mengalami penahanan, oleh kalangan LSM disebut-sebut sebagai upaya dari oknum pejabat pemerintah yang merasa tersudut dan dipojokan oleh kritik dan aktivitasnya yang banyak mengecam berbagai kebijakan pemerintah daerah, untuk membungkam aksinya. Karena dianggap terlalu vocal maka Teguh Tri Haryono menurut kalangan LSM, mirip dengan kasus Antasari Azhar, sengaja dijebak oleh oknum pejabat pemerintah. Kasus lainnya, karena dianggap terlalu gencar membongkar sebuah kasus korupsi miliaran rupiah, seorang aktivis LSM menerima ancaman terhadap keselamatan jiwanya, sehingga sempat menghilang selama beberapa berkompromi karena merasa tidak mampu memberikan perlawanan.
Sesungguhnya model hubungan antara LSM dan pemerintah yang bersifat containment/sabotage/dissolution, tidak perlu terjadi seandainya terdapat kesepahaman terhadap peran masing-masing. Dari sisi pemerintah menganggap kalangan LSM merupakan kelompok pembuat onar, anti kemapanan yang hanya mencari keuntungan belaka.
Sementara dalam pandangan LSM, pemerintah merupakan pihak yang harus diawasi dan ditekan karena banyak melakukan manipulasi yang merugikan masyarakat. LSM sebagai kelompok yang menyuarakan kepentingan masyarakat merasa perlu membela rakyat untuk mendapatkan hak-haknya. Model hubungan semacam ini oleh Meuthia GanieRochman disebut sebagai hubungan yang sifatnya conflictual. Hubungan antara LSM dan pemerintah adalah hubungan yang bersifat politis, LSM mengambil peran sebagai kelompok yang kritis dan mempertentangkan kepentingan rakyat dengan ketiakadilan dari pemerintah. Karakter dari LSM-LSM kritis ini adalah menggunakan kritik legitimasi sebagai alat untuk menekan pemerintah.
2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Distorsi Peran LSM
Dari paparan diatas terlihat bahwa para aktivis menggunakan LSM hanya sebagai sarana mencari keuntungan, LSM hanya digunakan sebagai kedok dan dalih semata. Dalam hal ini peran LSM telah digadaikan demi kepentingan sempit para oknum yang mengaku sebagai pembela rakyat kecil. Mereka telah membawa LSM melenceng dari peran utamanya sebagai pilar civil society. LSM yang seharusnya melakukan pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat, Dalam beberapa kasus penyimpangan kebijakan, LSM justeru berkompromi dengan kekuasaan yang melakukan manipulasi politik yang merugikan masyarakat. Sangat ironis, justeru ketika eksistensi dan peran LSM di Indonesiabelum menunjukan dampak yang signifikan terhadap pemberdayaan civil society, beberapa LSM justeru memperlemah gerakan menuju civil society. Selanjutnya menjadi sebuah pertanyaan mengapa terjadi distorsi terhadap peran LSM di Indonesia ? faktor-faktor apa saja yang menyebabkan LSM menyimpang dari peran yang seharusnya?. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan peran LSM menjadi terdistorsi.
a. Motif Mencari Keuntungan
Dari paparan sebelumnya tampak jelas bahwa misi mencari keuntungan materi merupakan motif utama yang mendasari penyimpangan perilaku LSM. Dari hasil wawancara menunjukan bahwa hampir semua LSM, terutama yang bergerak di bidang advokasi dan pengawasan tidak memiliki sumber dana yang jelas. Umumnya sumber dana didapatkan dari iuran para anggota, namun jika melihat latar belakang profesi para anggota LSM yang kebanyakan memiliki profesi dengan penghasilan yang tidak tetap, maka sulit bagi LSM untuk menjalankan operational sehari-hari dengan hanya mengandalkan iuran anggota.
Apalagi jika dilihat dari jumlah anggota LSM yang kebanyakan kurang dari 10 orang, bahkan tidak jarang anggota yang aktif hanya ketua, sekretaris dan
bendahara, bisa dibayangkan seberapa besar dana yang dapat dikumpulkan untuk menghidupi dan membiayai aktifitas LSM. Para anggota LSM tentu harus berfikir
bagaimana mencari dana paling tidak untuk membiayai operasional sehari-hari. Dan yang paling mudah adalah dengan memanfaatkan posisi LSM sebagai kelompok penekan pemerintah.
Adanya motif kepentingan tertentu agaknya juga tampak pada kasus LSM Grobogan Corruption Watch (GCW). Pada awal-awal berdirinya, GCW sempat menarik perhatian karena vocal dalam melontarkan kritik kepada pemerintah daerah, terutama kaitannya dengan praktek-praktek penyimpangan pelaksanaan proyek-proyek APBD. GCW pernah mengungkapkan dan melaporkan beberapa kasus korupsi yang tergolong besar dengan nilai anggaran miliaran rupiah, ke kejaksaan. Karena aksinya GCW sempat menjadi harapan banyak kalangan masyarakat untuk menjadi pengawal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Namun belakangan ini GCW seakan-akan menghilang tidak pernah lagi mengeluarkan kritik, tuntutan atau laporan dugaan korupsi. Menurut keterangan aktivis LSM lainnya, para aktivis GCW saat ini sudah tidak sesolid dulu, sebagian
bahkan telah meninggalkan organisasinya. Masti surinya GCW disebabkan karena
adanya perbedaan persepsi dikalangan para aktivisnya terhadap konsep visi dan misi yang dijalankan GCW. Ada dugaan bahwa GCW kemungkinan telah disusupi kepentingan lain, dan ini kemungkinan adalah adanya kompromi politik dengan imbalan tertentu. Para aktivis dengan idealisme tinggi memilih berjuang sendiri dengan media lain.
b. Ketiadaan Sumber Dana dan Rendahnya Profesionalisme
Beberapa LSM hanya mengandalkan proyekproyek dari pemerintah, dan ketika tidak ada proyek maka LSM tersebut seperti mati suri, hingga muncul kembali ketika ada tawaran menangani proyek pemerintah daerah. Sedangkan dari sisi manajemen keuangan LSM, otorita keuangan biasanya dipegang oleh satu orang saja dan dana saldo kegiatan biasanya dibagi-bagi dikalangan anggota LSM, tidak untuk di simpan sebagai pendukung kegiatan lain. Akuntabilitas LSM dalam hal ini sangat lemah, karena umumnya mereka tidak membuat dan memiliki laporan keuangan resmi. Laporan keuangan dibuat hanya untuk kepentingan internal. LSM Grobogan sangat lemah dalam mengadopsi system manajemen modern.
Demikian juga dengan kantor dan sekretariat LSM, mayoritas LSM tidak mempunyai kantor tetap yang berdiri sendiri. Kebanyakan menggunakan rumah pimpinan atau anggota LSM sebagai alamat yang tercantum dalam akta pendirian LSM. Bahkan ada satu LSM yang mencantumkan rumah kontrakan sebagai kantor
atau sekretariatnya.
c. Ideologi Yang Tidak Jelas
Dari segi tujuan didirikannya LSM dan program yang dijalankan, banyak LSM yang tidak jelas orientasi, visi dan misinya. Kebanyakan kalaupun ada hanya diatas kertas dan bersipat normatif, bahkan cenderung didirikan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu.
Diantaranya agar dapat mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Seringkali ketika proyek-Proyek APBD turun, mereka datang dengan setumpuk proposal untuk meminta proyek. Jika tidak diberi, maka seringkali terjadi praktek-praktek ancaman dan pemerasan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mansour Fakih yang menyebutkan bahwa sebagian besar LSM di Indonesia menetapkan cita-cita mereka adalah demi demokrasi, transformai sosial dan keadilan sosial. Namun ketika sampai kepada bagaimana mereka akan mencapai aspirasi-aspirasi tersebut, kebanyakan dari mereka menggunakan konsep maupun toeri modernisasi dan developmentalisme tanpa pertanyaan kritis.
d. Regulasi Yang Terlalu Longgar
Sementara itu dari mudahnya regulasi yang diberikan oleh pemerintah dalam mendirikan LSM, menyebabkan banyak LSM berdiri tanpa platform perjuangan dan program pelayanan yang jelas. Banyak LSM yang beroperasi bahkan tanpa prosedur hukum yang resmi, sedangkan pemerintah seakan membiarkan saja.
Tidak adanya pengaturan dan pengendalian dari pemerintah menyebabkan banyak LSM bermunculan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, akhirnya banyak LSM yang tidak memiliki sumber dana yang jelas dapat dengan mudah berdiri, hingga akhirnya melakukan berbagai penyimpangan.
Ada beberapa tantangan yang umumnya dihadapi oleh LSM di Indonesia, Pertama, tantangan dari dalam diri NGO itu sendiri, yaitu problem internal seperti inefisiensi manajemen, pertikaian antara aktivis, kurangnya transparansi, dan sebagainya. Hal ini dapat mengurangi kredibilitas sosial LSM sebagai agen demokratisasi dan pembaharuan. Kedua, tantangan berkelanjutan menyangkut sumber keuangan. Pada umumnya, LSM Indonesia memiliki ketergantungan cukup tinggi kepada sumber dana luar negeri yang disalurkan oleh para funding agency. Ketiga, akuntabilitas LSM juga lemah dan problematis. Misalnya, tidak ada garis dasar yang jelas untuk hasil dan laporan aktivitas LSM. Keempat, problem keterputusan (disconnection) yang biasanya ditemukan di dalam hubungan antara LSM dengan masyarakat atau komunitas. Misalnya, dalam kerja advokasi, seringkali ada godaan untuk terburu-buru meninggalkan komunitas dan bergegas menuju ke pembuat kebijakan nasional atau internasional.
Sementara Koenraad Verhagen menyatakan bahwa LSM sesungguhnya berada pada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan badan-badan pemerintah untuk membangkitkan peran serta masyarakat dan mendukung inisiatif-inisiatif pada tataran grass root. Meskipun demikian, sumber daya manusia dan keahlian yang diperlukan, masih amat diabaikan. LSM sering kali kekuarangan staf dan kelangkaan pekerja-pekerja lapangan yang terlatih.
3. Upaya-upaya untuk penguatan peran LSM dalam konsep Civil Society
Terdistorsinya peran LSM Grobogan menyebabkan gerakan menuju civil society menjadi lemah. Fungsi utama LSM sebagai pilar civil society yang mampu mengisi ruang publik sehingga dapat membatasi kekuasaan dan dominasi pemerintah menjadi tidak tercapai. Justeru citra LSM menjadi buruk di mata masyarakat karena LSM yang seharusnya menjadi wakil dan pembela masyarakat, berubah menjadi pihak yang justeru mengeksploitasi masyarakat. Dari sisi pemerintah daerah, banyak kalangan birokrat yang memberi cap LSM sebagai kelompok yang suka membuat onar, suka mencari masalah namun ujungujungnya adalah masalah uang. Untuk mewujudkan konsep civil society di kabupaten Grobogan, LSM harus dikembalikan pada fungsinya semula. Untuk itu diperlukan upaya-upaya terhadap penguatan kembali peran LSM. 6
a. Reposisi Internal
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial politik yang mandiri yang lepas dari ketergantungan dari pihak manapun. Dalam konteks ini LSM Grobogan harus memposisikan diri sebagai sebuah organisasi yang mandiri sekaligus professional. Distorsi peran LSM Grobogan terutama disebabkan oleh masalah ketidak mandirian dalam sumberdaya financial dan ketidak profesionalan manajemen organisasi, sehingga memunculkan motif-motif untuk mencari keuntungan.
Permasalahan utama terletak dari sisi internal LSM sendiri, sehingga diperlukan adanya reposisi internal yang dilakukan dalam rangka pembenahan dan penataan kembali pranata dan sumber daya manusia, termasuk sumber daya finansial. Masalah sumber dana adalah hal pertama yang harus diperhatikan untuk
menciptakan LSM yang kuat, mandiri dan fokus terhadap program dan kegiatannya.
Sementara itu, menurut Meuthia Ganie-Rochman dalam kaitannya dengan profesionalisme, LSM harus melakukan perubahan mendasar demi meningkatkan kapasitasnya, mulai dari orientasi, metode kerja, keahlian, pendekatan hingga jaringan kerja. Peningkatan kapasitas yang perlu dilakukan oleh LSM perlu diwujudkan dengan; pertama : melalui penegasan ideologi dan orientasi. Dalam hal ini perlu ditegaskan apa yang menjadi prinsip kerja LSM, baik secara internal maupun dalam kerangka kerjasama dengan sesama LSM. Kedua, peningkatan kapasitas menyimpan, mengembangkan dan memanfaatkan data. Ketiga, peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasikan dan bekerjasama, dengan institusi yang berbeda. Hal ini bukan hanya menyangkut kemampuan mengenali lembaga atau organisasi lain yang dapat diajak bekerjasama, tetapi juga kemampuan untuk membentuk kerjasama. Keempat, adalah kemampuan meningkatkan pengetahuan dan pengalaman, serta kemampuan mengevaluasi dan merekam pengalaman untuk didokumentasikan, didikomunikasikan dan dimanfaatkan oleh organisasi lain. Kelima, kemampuan meningkatkan akuntabilitas, yaitu bagaimana menerjemahkan peran dan fungsinya pada stakeholders yang berbeda.
b. Reposisi Eksternal
Kehadiran LSM merupakan suatu keniscayaan untuk mewujudkan negara yang demokratis. Sebagai pilar civil society LSM memposisikan dirinya sebagai pejuang demokrasi yang mendukung tumbuh kembangnya civil society. Peranperan utama LSM adalah peningkatan kapasitas masyarakat dan pembelaan atas hak-hak rakyat. Distorsi terhadap peran LSM menyebabkan banyak LSM di Indonesia terperangkap oleh motif-motif sempit yang menyimpang dari peran dan
fungsinya dalam mendukung civil society. Akibatnya citra LSM menjadi buruk dimata masyarakat dan pemerintah daerah, kredibilitas dan eksistensi LSM juga patut dipertanyakan.
Salah satu hal yang mendasar dalam reposisi eksternal adalah bahwa LSM harus membangun kredibilitas dan identitasnya di mata masyarakat dan pemerintah. Citra buruk LSM harus dihilangkan, karena jika LSM masih terperangkap dalam motif sempit mencari keuntungan materi, maka seruan moral LSM menjadi tak berguna. LSM harus menegaskan identitasnya dengan memajukan prinsip-prinsip tertentu dan sekaligus menunjukan kepada masyarakat metode kerja mereka. LSM perlu memilih beberapa isu penting saja yang harus ditanganinya secara serius dan konsisten. Menurut Meuthia Ganie-Rochman, LSM harus mengubah strategi dari melempar isu-isu menuju pada peemfokusan dalam pengembangan “design alternatif”, baik dalam skema formal maupun dalam bentuk informal.
Dalam bentuk kongkrit, adalah ikut serta dalam membentuk rancangan alternatif bagi pemerintah daerah dalam program tertentu, diantaranya: mengoptimalkan potensi local dan menciptakan infrastruktur yang dikuasai rakyat, mendorong terbukanya peluang terhadap sumberdaya, mengembangkan inisiatif untuk membentuk kelompok independen, mengembangkan ruang perdebatan untuk mendiskusikan permasalahan krusial dan actual di masyarakat dan mengadakan pndidikan kewarganaan secara keseluruhan.
Selain itu, pemerintah daerah juga perlu membuat aturan main yang jelas, bukan untuk mengawasi atau membatasi ruang gerak LSM, namun untuk menjamin profesionalisme LSM. Selama ini belum ada peraturan perundangan tingkat daerah yang mengatur tentang operasional LSM di Indonesia.
Semestinya diperlukan suatu ketentuan yang mengatur lebih rinci mengenai sumber dana, keanggotaan minimal, syarat kantor atau sekretariat dan syarat-syarat administratif lainnya. Ketentuan dan sanksi bagi LSM yang tidak mempunyai SKT juga harus diperjelas. Semua ini penting agar LSM yang idirikan benar-benar berkualitas dan professional dalam perannya sebagai pilar civil society.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Dalam konsep civil society, kondisi masyarakat di Indonesiasangat jauh dari prinsip kemandirian. Independensi masyarakat terhadap pemerintah, yang merupakan prinsip utama dalam membangun civil society tidak terlihat. Pemerintah daerah masih memegang kontrol penuh dalam kehidupan politik, sementara masyarakat hanya sebagai penonton atau bahkan dalam kasus tertentu sebagai obyek eksploitasi. Dominasi pemerintah terlihat jelas dalam perumusan kebijakan, sementara dalam implementasi kebijakan banyak terjadi manipulasi yang merugikan masyarakat.
b. Untuk memperkuat civil society diperlukan adanya organisasi sosial yang mandiri. Diantara organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karakteristik LSM yang bercirikan: mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah dalam hal finansial, nonpartisan, tidak mencari keuntungan ekonomi, bersifat sukarela, dan bersendi pada gerakan moral, menjadikan LSM dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi oleh ikatan-ikatan motif politik dan ekonomi. Peran LSM dalam civil society diperlukan terutama dalam rangka peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat ditingkat akar rumput.
c. Dalam konteks hubungan LSM dengan pemerintah ada dua model hubungan yang cocok untuk menggambarkan pola hubungan antara LSM di Indonesia dengan pemerintah. Yang pertama adalah hubungan yang bersifat collaboration/cooperation, dalam konteks hubungan seperti ini pemerintah menganggap bahwa bekerja sama dengan kalangan LSM merupakan sesuatu yang menguntungkan. LSM dan pemerintah berdiri pada posisi yang equal dan sejajar. Model kedua adalah hubungan yang bersifat containment/sabotage/ dissolution, dimana pemerintah melihat LSM sebagai tantangan, bahkan ancaman. Pemerintah dapat mengambil langkah tertentu untuk membatasi ruang gerak LSM. Hubungan antara LSM dan pemerintah adalah hubungan yang bersifat politis, LSM mengambil peran sebagai kelompok yang kritis dan mempertentangkan kepentingan rakyat dengan ketiakadilan dari pemerintah. Karakter dari LSM-LSM kritis ini adalah menggunakan kritik legitimasi sebagai alat untuk menekan pemerintah.
2. Saran
Untuk mengembalikan peran LSM sebagai pilar civil society, maka diperlukan upaya-upaya untuk menguatkan kembali peran LSM. Penguatan Peran LSM dilakukan melalui reposisi peran baik internal maupun eksternal. Dari sisi internal, kaitannya dengan profesionalisme, LSM harus melakukan perubahan mendasar demi meningkatkan kapasitasnya. Mulai dari orientasi, metode kerja, keahlian, pendekatan hingga jaringan kerja. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu membuat aturan main yang jelas, bukan untuk mengawasi atau membatasi ruang gerak LSM, namun untuk menjamin profesionalisme LSM. Semestinya diperlukan suatu ketentuan yang mengatur lebih rinci mengenai sumber dana, keanggotaan minimal, syarat kantor atau sekretariat dan syarat-syarat administratif lainnya. Ketentuan dan sanksi bagi
LSM yang tidak mempunyai SKT juga harus diperjelas. Dalam rangka reposisi eksternal, LSM harus membangun kredibilitas dan identitasnya di mata masyarakat dan pemerintah. Citra buruk LSM harus dihilangkan, karena jika LSM masih terperangkap dalam motif sempit mencari keuntungan materi, maka seruan moral LSM menjadi tak berguna. LSM harus menegaskan identitasnya dengan memajukan prinsip-prinsip tertentu dan sekaligus menunjukan kepada masyarakat metode kerja mereka.
E. Referensi
Affan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Budi Setiyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Kompas, 3 Maret 2014.
Fakih, Mansour, Masyarakat sipil untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999.
Suharko, Merajut Demokrasi Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
1 Deputi Keamanan Kemenpolkam.
2 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 6.
3 Budi Setiyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Kompas, 3 Maret 2014.
4 Affan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 19.
5 Fakih, Mansour, Masyarakat sipil untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999, hal. 78.
6 Suharko, Merajut Demokrasi Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005, hal. 8.