BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Di dalam sistem hukum nasional demikian halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan kontitusi yang berlaku di negara kita yaitu Undang Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang mengatakan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Adalah sebagai dasar hukum politik pertanahan nasional dengan satu tujuan yaitu untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mekanisme penguasaan oleh negara yang kemudian dijabarkan lebih lanjut antara lain dalam pasal 1, 2, 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria). Jadi penguasaan, pengaturan dalam penggunaan dan penguasaan tanah seyogyanya tidak boleh lari jauh dari tujuan yang diamanahkan konstitusi negara kita.
Undang-undang Pokok Agraria berpedoman pada suatu prinsip bahwa untuk menuju cita-cita yang diamanahkan oleh pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 itu tidak perlu dan tidak pada tempatnya apabila Negara (sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh bangsa Indonesia) menjadi pemilik dalam arti keperdataan atas bumi, air dan kekayaan alam lainnya, tetapi yang tepat adalah Negara sebagai Badan Penguasa demikian pengertian yang harus dipahami oleh pelaksana kekuasaan negara dan aparat-aparatnya serta seluruh masyarakat mengenai arti kata Negara dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria, yang mengatakan bahwa:1)
“Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”.2)
Hukum Tanah Nasional (HTN) yang ketentuan pokoknya ada di dalam Undang-undang Pokok Agraria merupakan dasar dan landasan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah oleh orang lain dan badan hukum dalam rangka memenuhi keperluannya, untuk bisnis ataupun pembangunan. Oleh karena itu keberadaan hak-hak perorangan atas tanah tersebut selalu bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah pasal 1 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria. Dan masing-masing hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional tersebut meliputi, hak bangsa Indonesia atas tanah pasal 1 ayat (1), dan hak menguasai Negara Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pokok Agraria, serta hak-hak perorangan atas tanah yang terdiri dari hak-hak atas tanah (primer dan sekunder) dan hak jaminan atas tanah.3)
Adapun tata cara yang dapat digunakan untuk memperoleh hak atas tanah tergantung pada status tanah yang tersedia yaitu, Tanah Negara atau Tanah Hak. Jika tanah yang tersedia berstatus Tanah Negara, tata cara yang harus digunakan untuk memperoleh tanah tersebut adalah melalui permohonan hak.
Dan jika yang tersedia berstatus Tanah Hak (hak-hak primer), maka tata cara yang dapat digunakan untuk memperoleh tanah tersebut di antaranya adalah melalui, pemindahan hak (jual-beli, hibah tukar, menukar).4)
Setiap hak atas tanah yang diperoleh melalui acara permohonan hak wajib didaftarkan di kantor pertanahan BPN (dahulu Kantor Agraria) di setiap Kabupaten/Kotamadya.
Dalam pembangunan jangka panjang kedua peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, yang pertama diperlukan adalah tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya.
Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon penjual, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pertanahan.
Sehubungan dengan itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dimaksud di atas. Pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang sampai saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Undang-undang Pokok Agraria, yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif , karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria.
Pasal 19 ayat (2) huruf c yang mengatakan bahwa :
“Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.”
Pasal 23 ayat (2) yang mengatakan bahwa :
“Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.”
Pasal 32 ayat (2) yang mengatakan bahwa :
“Pendaftaran termaksud ini dalam ayat ini menyetakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.”
Pasal 38 ayat (2) yang mengatakan bahwa :
“Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.”
Penyempurnaan yang diadakan meliputi penegasan berbagai hak yang belum jelas dalam peraturan yang lama, antara lain pengertian pendaftaran tanah itu sendiri, asas-asas dan tujuan penyelesaiannya, yang di samping untuk memberikan kepastian hukum sebagaimana disebut di atas juga dimaksudkan untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan. Prosedur pengumpulan data penguasaan tanah juga dipertegas dan dipersingkat serta disederhanakan.
Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Dari pengalaman masa lalu cukup banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang-bidang tanah tidak benar. Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala besar untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam pengajian data pengusahaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak pernah disebutkan sertipikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkan “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sering ditafsirkan sebagai sertipikat tanah.5)
Di atas sudah disebut sertipikat adalah surat tanda bukti hak, oleh karena itu telah kelihatan berfungsinya, bahwa sertipikat itu berguna sebagai “alat bukti”. Alat bukti yang menyatakan tanah ini telah diadministrasi oleh negara. Dengan dilakukan administrasinya lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasikan tersebut. Bukti atau sertipikat adalah milik seseorang sesuai dengan yang tertera dalam tulisan di dalam sertipikat tadi. Jadi bagi si pemilik tanah, sertipikat tadi adalah merupakan pegangan yang kuat dalam pembuktian hak miliknya, sebab dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwenang secara hukum. Hukum melindungi pemegang sertipikat tersebut dan lebih kokoh bila pemegang itu adalah namanya yang tersebut dalam sertipikat. Sehingga bila yang memegang sertipikat itu belum namanya maka perlu dilakukan balik namanya kepada yang memegangnya sehingga terhindar lagi dari gangguan pihak lain.
Bila terjadi sengketa terhadap bidang tanah tersebut, maka oleh yang memiliki tanah, sertipikat yang ditangannyalah yang digunakan untuk membuktikan bahwa tanah itu miliknya. Surat tanda bukti hak atau sertipikat tanah itu dapat berfungsi menciptakan tertib hukum pertanahan serta membantu mengakrifkan kegiatan perekonomian rakyat (misalnya apabila sertipikat tersebut digunakan sebagai jaminan). Sebab yang namanya sertipikat Hak adalah tanda bukti atas tanah yang telah terdaftar oleh badan resmi yang sah dilakukan oleh Negara atas dasar Undang-undang.6)
Sehingga dengan pengeluaran sertipikat ini, menandakan telah ada pendaftaran tanah yang dilakukan. Hanya saja, dalam praktek, penerbitan sertipikat tanah masih dapat dipertanyakan keefektifannya dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum, apakah sertipikat benar-benar melindungi hak (subyek) atau tanahnya (obyek) atau hanya bukti fisik sertipikatnya saja, karena sering terjadi ketika dibawa ke pengadilan, dapat saja diakui secara formal sertipikatnya, tetapi tidak melindungi subyek dan obyeknya. Peradilan Tata Usaha Negara dapat saja menolak menyatakan untuk membatalkan sertipikat tanah, tetapi peradilan umum menyatakan orang yang terdaftar namanya dalam sertipikat tidak berhak atas tanah yang disengketakan.7)
Walaupun fungsi utama sertipikat hak atas tanah adalah sebagai alat bukti, tetapi sertipikat bukan satu-satunya alat bukti hak atas tanah. Hak atas tanah seseorang masih mungkin dibuktikan dengan alat bukti lain. Sertipikat sebagai alat bukti sangat penting misalnya di dalam hal pemindahan hak, dan perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain ( yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak ), yang berupa : jual – beli tanah, tukar menukar, hibah atau hibah wasiat dan lain – lainnya. Namun dalam kenyataannya di masyarakat sering terjadi berbagai masalah yang berkaitan dengan sertipikat, salah satu contoh masalah yang berkaitan dengan sertipikat tersebut adalah sering terjadinya sertipikat ganda, seperti pada kasus yang termuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 556 / K / Pdt / 1987 15 Oktober 1992. Yang terjadi antara Tuan R.Sutikno dengan Nyonya Nurul Maya, terhadap sebidang tanah dengan bangunan rumah tinggal yang terletak di jalan Hang tuah Kebayoran Baru, Jakarta selatan seluas 534 meter persegi. Atas tanah tersebut terbit dua sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama dua orang pemilik yaitu Tuan R.Sutino pada tahun 1965 dan Tuan Tan Po Gwan pada tahun 1974, yang kemudian dijual oleh Tuan Tan Po Gwan kepada Nyonya Nurul Maya. Dalam hal ini berarti berarti ada dua sertipikat atau lebih dikenal dengan sertipikat ganda.
Berbagai macam permasalahan itu salah satunya adalah tentang sertifikat ganda yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya di tingkat BPN ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Pemerintah dalam menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah, menjadikan kepastian letak dan batas setiap bidang tanah sebagai faktor dan prioritas utama yang tidak dapat diabaikan.
Dari pengalaman masa lalu cukup banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang-bidang tanah tidak benar. Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala besar untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam penyajian data pengusahaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak pernah disebutkan sertifikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam Pasal 19 ayat (2) huruf C ada disebutkan “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sering ditafsirkan sebagai sertifikat hak tanah. Walaupun fungsi utama sertifikat hak atas tanah adalah sebagai alat bukti, tetapi sertifikat bukan satu-satunya alat bukti hak atas tanah. Hak atas tanah seseorang masih mungkin dibuktikan dengan alat bukti lain, misalnya akta register yang di keluarkan oleh Pemerintah Desa letak tanah tersebut berada. Sertifikat sebagai alat bukti sangat penting misalnya di dalam hal pemindahan hak, dan perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain ( yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak ), yang berupa: jual – beli tanah, tukar menukar, hibah atau hibah wasiat dan lain – lainnya.
Tapi sayangnya, permasalaha tentang sertifikat tanah masih tetap ada dan muncul lagi dengan permasalahan berbeda. Sebidang tanah yang mempunyai sertifikat ganda muncul dan menjadi akar pahit bagi hukum pertanahan yang ada di Indonesia. Untuk itulah berdasarkan uraian diatas maka penulis berkeinginan untuk mendalami lagi apa itu sertifikat tanah, bagaimana sampai timbul sertifikat ganda dan apa solusinya dari pihak berwenang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.
B.Pokok Permasalahan
Adapun pokok permasalahan yang ingin penulis teliti adalah :
1. Bagaimana sampai munculnya sertifikat ganda yang merupakan alat bukti sah kepemilikan tanah?
2. Bagaimana penyelesaian yang dilakukan pihak berwenang menyelesaikan masalah sertifikat ganda?
C.Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah yuridis normatif yang menitik beratkan penelitian terhadap data kepustakaan atau disebut data sekunder, dan mencoba untuk menginterfentarisir dan mengkaji asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam kitab Undang-undang, dan berbagai peraturan perundangundangan, yurisprudensi serta hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, karena bertujuan untuk memberi gambaran mengenai fakta-fakta disertai analisis yang akurat mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori hukum dan praktek mengenai sebab-sebab terjadinya sertipikat hak atas tanah menjadi ganda.
Selain itu dilakukan studi kasus untuk mendukung hasil analisis, yang dapat diberikan solusi atas permasalahan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang dititik beratkan pada data sekunder yang bersifat publik.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi :
1. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik pembahasan penelitian ini, antara lain : Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan masalah yang penulis teliti.
2. Bahan hukum Sekunder yaitu menggunakan buku-buku, artikel ilmiah, majalah hukum yang terkait dengan permasalahan.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai sebab – sebab timbulnya sertipikat hak atas tanah menjadi ganda beserta penyelesaian hukumnya.
BAB II
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Penyebab Timbulnya Sengketa Tanah Dan Sertifikat Ganda Permasalahan
Tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan yang komprehensif. Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia.8)
Tidak sedikit korban yang jatuh karena mempersoalkan atau mempertahankan beberapa persegi tanah saja. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus di bidang pertanahan di Indonesia terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan PertanahanNasional (BPN) Republik Indonesia meningkat lima ribu kasus.
Kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta kurang transparannya informasi yang tersedia di masyarakat merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa-sengketa tanah. Hal ini menyebabkan terkonsentrasinya penguasasan dan pemilikan tanah dalam hal luasan di pedesaan dan/atau jumlah bidang tanah di perkotaan, hanya pada sebagian kecil masyarakat. Di sisi lain persertifikatan tanah tampaknya masih cenderung kepada akses permintaan, yang jauh melampaui sisi penawaran, meskipun proyek-proyek administrasi pertanahan seperti prona dan proyek adjukasi relatif berhasil mencapai tujuannya.
Jika dicermati, konflik pertanahan yang terjadi selama ini berdimensi luas, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal. Konflik vertikal yang paling dominan yaitu antara masyarakat dengan emerintah atau perusahaan milik negara dan perusahaan milik swasta. Misalnya salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus yang paling sering terjadi adalah permasalahan sertifikat ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat pada sebuah bidang tanah.
Penyebab lainnya dari sengketa pertanahan adalah nilai ekonomis tanah yang cukup tinggi dan tanah merupakan simbol eksistensi dan status sosial ditengah masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik pertanahan yang vertikal dan horizontal itu.
Makna dan nilai tanah yang demikian stategis dan istimewa mendorong setiap orang untuk memiliki, menjaga dan merawat tanahnya dengan baik, bila perlu mempertahankannya sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan. Akar konflik dan sengketa pertanahan yang bersifat multidimensional tidak bisa dilihat sebagai persoalan hukum belaka, namun juga terkait variabel-variabel lain yang non-hukum yang antara lain yaitu lemahnya regulasi sertifikasi tanah yang belum mencapai 50%.
Tumpang tindihnya pengeluaran suatu keputusan dari instansi-instansi yang berhubungan langsung dengan pertanahan juga merupakan salah satu faktor timbulnya sengketa pertanahan. Misalnya penerbitan SK untuk penambangan batu bara yang harus dikeluarkan oleh beberapa instansi pemerintahan antara lain Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan lain-lain yang berkaitan dengan SK tersebut. Sengketa demi sengketa ini terjadi karena kurangnya koordinasi antara instansi penyelenggara pembebasan tanah dan pihak lain yang terkait misalnya kantor pertanahan setempat. Itu artinya inkonsistensi pemerintah dalam mengeluarkan regulasi di bidang pertanahan serta lemahnya pengawasan saat melaksanakan regulasi-regulasi tersebut.
Diawal diberlakukannya UUPA, melalui Repelita III sebagaimana amanat GBHN, diberlakukanlah reformasi penguasaan dan kepemilikan tanah. Langkah ini kemudian dikenal dengan istilah landreform. Secara singkat, penyelenggaraan landreform di Indonesia dimaksudkan untuk membebaskan petani dan rakyat jelata dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Program landreform yang dijalankan pemerintah pada waktu itu meliputi beberapa hal, misalnya pembatasan luas maksimum penguasaan tanah, redistribusi tanah dan lainnya.
Namun dalam prakteknya landreform tidaklah berjalan mulus sesuai dengan harapan pemerintah. Salah satu faktor penyebab tersendatnya landreform adalah keadilan yang diperjuangkan oleh pemerintah bersama petani tidak dirasakan oleh pemilik tanah. Dan alhasil, akar-akar permasalahan dari landreform sampai saat ini masih dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Ada juga salah satu penyebab terjadinya sengketa dan sertifikat tanah yang sering kali kita lupakan adalah, bencana alam yang menyebabkan surat-surat bukti hak atas tanah hilang ataupun rusak. Pasca tragedi tsunami tahun 2006 lalu, di Kanwil BPN Provinsi Aceh, sebanyak 20% dokumen hak atas tanah dan pendaftaran hak atas tanah hilang serta rusak. Sedangkan di kota Banda Aceh kerusakan mencapai 40%. Selain itu juga terdapat 15 ribu ton dokumen pertanahan Provinsi NAD yang sedang distabilisasi di Muara Baru, Jakarta dengan menggunakan tempat pendingin. Keadaan yang demikian mempersulit bagi Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertifikat baru atas tanah di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, selain data-data yang hilang, juga keadaan tanahnya yang telah berubah setelah bencana tsunami.
Pengacara kondang, Elza Syarief dalam bukunya yang berjudul “Menuntaskan Sengketa Tanah” mengemukakan pendapat bahwa, secara umum sengketa tanah timbul akibat faktor-faktor sebagai berikut:
1. Peraturan yang belum lengkap;
2. Ketidaksesuaian peraturan;
3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
5. Data tanah yang keliru;
6. Keterbatasn sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
7. Transaksi tanah yang keliru;
8. Ulah pemohon hak atau
9. Adanya penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.
Sedangkan menurut Bernhard Limbong dalam bukunya “Konflik Pertanahan” mengemukakan dua hal penting dalam sengketa pertanahan yaitu sengketa pertanahan secara umum dan sengketa pertanahan secara khusus, sebagaimana terdapat dalam Keputusan BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.
1. Secara umum
a. Faktor hukum
1) Regulasi kurang memadai;
Regulasi di bidang pertanahan belum seutuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar Pancasila dan filosofi Pasal 33 UUD 1945 tentang moral, keadilan, hak asasi, dan kesejahteraan. Disisi lain penegakan hukum kerap kali berhenti pada mekanisme formal dari aturan hukum dan mengabaikan nilai-nilai substansinya.
2) Tumpang tindih peradilan;
Saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu sengketa pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana, serta Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam suatu sengketa tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana. Selain itu, sumber daya aparatur agrarian juga merupakan hal yang memicu timbulnya sengketa.
3) Penyelesaian dan birokrasi berbelit-belit
Penyelesaian perkara lewat pengadilan di Indonesia melelahkan, biaya yang tinggi dan waktu penyelesaian yang lama apalagi bila terjebak dengan mafia peradilan, maka keadilan tidak berpihak pada yang benar. Hal ini tentunya tidak sesuai lagi dengan prinsip peradilan kita yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah, karena kondisinya saat ini dalam berurusan dengan pengadilan tidaklah sederhana, birokrasi pengadilan yang berbelit-belit dan lama serta biaya yang mahal.
4) Tumpang tindih peraturan
UUPA sebagai induk dari peraaturan sumber daya agrarian lainnya khususnya tanah, namun dalam berjalan waktu dibuatlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan drngan sumber daya agrarian tetapi tidak menenmpatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agrarian.
Struktur hukum agrarian menjadi tumpang tindih. UUPA yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya peraturan-peraturan perundangan sektoral.
b. Faktor non hukum
1) Tumpang tindih penggunaan tanah
Pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan berkurang akibat berubah fungsinya tanah pertanian. Juga pemerintah yang terus-menerus menyelenggarakan proyek pembangunan. Tidak dapat dihindarkan jika sebidang tanah yang sama memiliki ataupun timbul kepentingaan yang berbeda. Itulah mengapa pertumbuhan sengketa tanah yang terus menerus meningkat.
2) Nilai ekonomis tanah yang tinggi
Sejak masa orde baru, nilai ekonomis tanah semakin tinggi. Hal ni terkait dengan politik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah dengan menitikberatkan pada pembangunan. Pemerintah orde baru menetapkan kebijakan berupa tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi menjadi sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat, melainkan tanah sebagai aset pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat merugikan rakyat.
Fungsi sosial tanahpun dikesampingkan karena semuanya berorientasi pada bisnis. Kebijakan pemerintah orde baru dapat menimbulkan sengketa penguasaan sumber daya agrarian antara pemilik tanah dalam hal ini rakyat dengan para pemilik modal yang difasilitasi pemerintah.
3) Kesadaran masyarakat meningkat
Perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanahpun ikut berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
Jika sebelumnya pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan hanya diberikan “seadanya” bahkan diserahkan dengan sukarela dan cuma-cuma, pelan-pelan berubah mengacuh pada NJOP (nilai jual objek pajak). Belakangan masyarakat menuntut adanya penberian ganti rugi berdasarkan harga pasar bahkan lebih dari pada itu dengan menuntut pemberian kompensasi berupa pemukiman kembali yang lengkap dengan fasilitas yang kurang lebih sama dengan tempat asal mereka yang dijadikan areal pembangunan.
4) Tanah tetap, penduduk bertambah
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, baik lewat kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, sementara luas lahan yang relatif tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan mati-matian.
5) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan. Dalam memenuhi kebutuhan pertanahan, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.
Padahal kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Oleh sebab itu, meningkatnya petani gurem mencerminkan kemiskinan di perdesaan.
Masalah tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak secara formal menguasai lahan sebagai hak milik, dan kalaupun mereka memiliki tanah, perlindungan terhadap hak atas tanah mereka tidak cukup kuat karena tanah tersebut seringkali tidak bersertifikat.
Secara garis besar dapat ditarik beberapa hal yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan dan sertifikat ganda yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya transparansi informasi mengenai kepemilikan tanah.
2. Nilai tanah yang ekonomis dan tanah yang dijadikan masyarakat sebagai simbol eksistensi sosial bermasyarakat, sehingga setiap orang menggunakan segala cara untuk mempertahankannya.
3. Lemahnya regulasi padahal sengketa pertanahan bersifat multidimensional.
4. Tumpang tindihnya keputusan-keputusan yang dikeluarkan lembaga- lembaga negara yang berkepentingan mengenai kepemilikan hak atas tanah.
5. Tafsiran dikalangan masyarakat yang salah mengartikan mana tanah adat atau memiliki hak ulayat dan mana yang merupakan tanah bukan milik adat atau tanah negara.
6. Permasalahan land reform yang sampai sekarang belum bisa terpecahkan.
7. Serta adanya bencana alam yang menyebabkan rusaknya tanda bukti kepemilikan hak atas tanah dan bergesernya tanah setelah bencana.
8. Dan yang paling kompleks adalah tidak dimanfaatkannya peta pendaftaran tanah dan sistem komputerisasi yang belum modern.
9. Bahkan ketidakjujuran aparat desa dan pemohohon dalam hal ini pemilik lahan dalam memberikan informasi kepada BPN merupakan faktor utama. Itulah beberapa hal kecil penyebab timbulnya sengketa tanah dan sertifikat ganda yang tentunya masih banyak hal lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya hal itu.
Disisi lain, terjadinya sertifikat-sertifikat ganda mengakibatkan cacat hukum seperti sertifikat palsu dan sertifikat ganda dipengaruhi oleh faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor intern antara lain:
1. Tidak dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya secara konsekuen dan bertanggungjawab disamping masih adanya orang yang berbuat untuk memperoleh keuntungan pribadi.
2. Kurang berfungsinya aparat pengawas sehingga memberikan peluang kepada aparat bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3. Ketidak telitian pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat tanah yaitu dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat tidak diteliti dengan seksama yang mungkin saja dokumen-dokumen tersebut belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Faktor ekstern antara lain:
1. Masyarakat masih kurang mengetahui undang-undang dan peraturan tentang pertanahan khususnya tentang prosedur pembuatan sertifikat tanah.
2. Persediaan tanah tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah.
3. Pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah sangat terbatas sehingga mendorong peralihan fungsi tanah dari tanah pertanian ke non pertanian, mengakibatkan harga tanah melonjak.
B. Penyelesaian Sengketa Tanah Dan Sertifikat Ganda Oleh BPN
Dasar pembentukan BPN adalah Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988. Sebagai panduan operasional BPN, pimpinan lembaga ini kemudian mengeluarkan SK No. 11/KBPN/1988 jo Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 1989 tentang Organisasi Dan Tata Kerja BPN Di Provinsi Dan Kabupaten/Kotamadya.
Secara normatif, BPN adalah satu-satunya lembaga atau institusi di Indonesia yang diberikan kewenangan untuk mengemban amanat dalam mengelolah bidang pertanahan, sesuai dengan Perpres Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan
bahwa BPN melaksanakan tugas dibidang pertanahan secara nasional regional dan sektoral. Bahkan melalui Proses yang sama, pemerintah juga telah memperkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk Deputi V yang secara khusus mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan.
Sesuai peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 tentang organisasi dan tata kerja BPN-RI, pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan merupakan bidang Deputi V yang membawahi:
1. Direktorat konflik pertanahan
2. Direktorat sengketa pertanahan
3. Direktorat perkara pertanahan (Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006)
Badan Pertanahan Nasional selalu mengupayakan solusi penyelesaian sengketa pertanahan dengan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan rasa keadilan dan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Langkah-langkah penyelesaian sengketa yang mereka atau pihak BPN tempuh adalah musyawarah.
Begitu juga dalam sengketa sertifikat ganda, BPN juga berwenang melakukan negosiasi, mediasi dan fasilitasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan menggagas suatu kesepakatan di antara para pihak.
Kantor wilayah BPN yaitu di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, hanya bisa sampai pada putusan penyelesaianmasalah, sedangkan tindak lanjut administrasi pertanahan tetap dilakukan BPN.
Untuk meminimalkan sengketa pertanahan dalam hal ini sertifikat ganda, maka dalam hal ini peran yang dilakukan BPN sebagai pelayan masyarakat antara lain adalah:
1. Menelaah dan mengelolah data untuk menyelesaikan perkara di bidang pertanahan.
2. Menampung gugatan-gugatan, menyiapkan bahan memori jawaban, menyiapkan memori banding, memori/kontra memori kasasi, Memori/kontra memori peninjauan kasasi atas perkara yang diajukan melalui peradilan terhadap perorangan dan badan hukum yang merugikan negara.
3. Mengumpulkan data masalah dan sengketa pertanahan.
4. Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan mengenai Penyelesaian sengketa atas tanah.
5. Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan pembatalan hak atas tanah yang cacat administrasi dan berdasarkan kekuatan putusan peradilan.
6. Mendokumentasi.
BPN juga memiliki mekanisme tertentu dalam menangani dan menyelesaikan perkara atau sengketa pertanahan dalam hal ini termasuk juga sengketa sertifikat ganda yaitu:
1. Sengketa tanah biasanya diketahui oleh BPN dari pengaduan.
2. Pengaduan ditindaklanjuti dengan mengidentifikasikan masalah. Dipastikan apakah unsur masalah merupakan kewenangan BPN atau tidak.
3. Jika memang kewenangannya, maka BPN meneliti masalah untuk membuktikan kebenaran pengaduan serta menentukan apakah pengaduan beralasan untuk diproses lebih lanjut.
4. Jika hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data fisik administrasi serta yuridis, maka kepala kantor dapat mengambil langkah berupa pencegahan mutasi (status quo).
5. Jika permasalahan bersifat strategis, maka diperlukan pembentukan beberapa unit kerja. Jika bersifat politis, sosial, dan ekonomis maka tim melibatkan institusi berupa DPR atau DPRD, departemen dalam negeri, pemerintah daerah terkait.
6. Tim akan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan rekomendasi penyelesaian masalah.
Dalam prakteknya, penyelesaian terhadap sengketa pertanahan bukan hanya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional tetapi juga bisa diselesaikan oleh lembaga Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jika diperadilan umum lebih menitikberatkan kepada hal-hal mengenai perdata dan pidana dalam sengketa pertanahan, lain halnya dengan peradilan tata usaha negara yang menyelesaikan sengketa pertanahan berkaitan dengan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional atau pejabat daerah lainnya yang berkaitan dengan tanah.
Pada saat ini, kebanyakan sengketa pertanahan dalam hal ini sertifikat ganda diselesaikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Penyelesaian secara langsung oleh pihak dengan musyawarah
Dasar musyawarah untuk mufakat tersirat dalam pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan dalam UUD 1945. Musyawarah dilakukan diluar pengadilan dengan atau tanpa mediator. Mediator biasanya dari pihak-pihak yang memiliki pengaruh misalnya Kepala Desa/Lurah, ketua adat serta pastinya Badan Pertanahan Nasional.
Dalam penyelesaian sengketa pertanahan lewat musyawarah, satu syaratnya adalah bahwa sengketa tersebut bukan berupa enentuan tentang kepemilikan atas tanah yang dapat memberikan hak atau menghilangkan hak seseorang terhadap tanah sengketa, dan diantara pihak bersengketa memiliki kekebaratan yang cukup erat serta masih menganut hukum adat setempat.
2. Melalui arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa
Arbitrase adalah penyelesaian perkara leh seorang atau beberapa arbiter (hakim) yang diangkat berdasarkan kesepakatan/ persetujuan para pihak dan disepakati bahwa putusan yang diambil bersifat mengikat dan final. Persyaratan utama yang harus dilakukan untuk dapat mempergunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa adalah adanya kesepakatan yang dibuat dalam bentuk tertulis dan disetujui oleh para pihak.8)Jika telah tertulis suatu klausula arbitrase dalam kontrak atau suatu perjanjian arbitrase, dan pihak lain menghendaki menyelesaikan masalah hukumnya ke pengadilan, maka proses pengadilan harus ditunda sampai proses arbitrase tersebut diselesaikan dalam lembaga arbitrase. Dengan demikian pengadilan harus dan wajib mengakui serta menghormati wewenang dan fungsi arbiter.
3. Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan
Sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya penyelesaian sengketa pertanahan yang terkait sengketa kepemilikan diserahkan ke peradilan umum, terhadap sengketa keputusan Badan Pertanahan Nasional melalui Peradilan Tata Usaha Negara dan sengketa menyangkut tanah wakaf diajukan ke Peradilan Agama.
Berdasarkan penjelasan tentang spesifikasi dari lembaga penyelesaian sengketa baik lembaga litigasi dan lembaga non litigasi, sampai saat ini
jelas bahwa semua cara itu tidak dapat menyelesaikan masalah sengketa pertanahan secara tuntas dalam waktu yang singkat, malah cenderung berlarut-larut.
Faktanya, proses mediasi yang dilakukan BPN tidak mampu menyelesaikan sengketa pertanahan yang ada saat ini untuk itulah mengapa BPN sangat sulit untuk mewujudkan seluruh visi, misi dan program-program strategis yang diembannya.
BPN mengalami kendala dalam mengatasi sengketa pertanahan
khususnya permasalahan sertifikat ganda dikarenakan tumpangtindihnya peraturan atau regulasi yang ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Penyebab terjadinya sertifikat ganda bisa dikarenakan adanya unsur kesengajaan, ketidaksengajaan dan dikarenakan kesalahan administrasi. Timbulnya sertifikat ganda juga disebabkan oleh kurangnya kedisiplinan dan ketertiban aparat pemerintah yang terkait dengan bidang pertanahan dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Badan Pertanahan Nasional bukanlah lembaga negara dibidang yudikatif, namun walaupun demikian Badan Pertanahan Nasional mempunyai wewenang untuk menyelesaikan setiap masalah pertanahan termasuk masalah sertifikat ganda. Wewenang ini hanya sebatas wewenang administrasi saja yaitu pembatalan atau pencabutan suatu sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN itu sendiri. Badan Pertanahan Nasional selalu mengupayakan solusi penyelesaian sengketa pertanahan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan rasa keadilan dan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak adalah musyawarah. Langkah-langkah penyelesaian sengketa yang mereka atau pihak BPN tempuh dalam sengketa sertifikat ganda adalah negosiasi, mediasi dan fasilitasi.
B. Saran
Saran yang bisa penulis sampaikan adalah hendaknya Pemerintah harus mengambil keputusan bahwa satu-satunya lembaga yang mengurus administrasi pertanahan hanyalah Badan Pertanahan Nasional dan lembaga lainnya hanya mengikuti petunjuk atau aturan-aturan yang dikeluarkan oleh BPN. Peta pendaftaran tanah yang merupakan basis data pendaftaran tanah yang dimiliki BPN sebaiknya dimanfaatkan secara benar sehingga tidak akan muncul lagi sebidang tanah yang memiliki sertifikat ganda. Apabila terjadi maka akan diketahui dari peta pendaftaran tanah yang dimiliki oleh BPN. Zaman yang modern ini seharusnya BPN juga sudah mengikuti perkembangan yang ada. Sistem komputerisasi BPN juga seharusnya sudah yang paling modern sehingga dapat menyimpan berbagai data yang dimiliki BPN.
DAFTA PUSTAKA
Arie S. Hutagalung, Perlindungan Pemilikan Tanah dari Sengketa Menurut Hukum Tanah Nasional, Tebaran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.
Eko Yulian Isnur, Tata Cara Mengurus Segala Macam Surat Rumah Dan Tanah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012).
Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan, (Jakarta: Visimedia, 2011)
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Jakarta: Mandar Maju, 2008).
Sunario Basuki, Garis Besar Hukum Tanah Indonesia Landasan Hukum Penguasaan dan Penggunaan Tanah, Program Spesialis Notariat FHUI.
Sunario Basuki, Ketentuan Hukum Tanah Nasional ( HTN ) yang Menjadi Dasar dan Landasan Hukum Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
1)Arie S. Hutagalung, Perlindungan Pemilikan Tanah dari Sengketa Menurut Hukum Tanah Nasional, Tebaran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005 hal 295.
3)Sunario Basuki, Ketentuan Hukum Tanah Nasional ( HTN ) yang Menjadi Dasar dan Landasan Hukum Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 1
4)Sunario Basuki, Garis Besar Hukum Tanah Indonesia Landasan Hukum Penguasaan dan Penggunaan Tanah,Program Spesialis Notariat FHUI, hal. 29 ).
5) Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Jakarta: Mandar Maju, 2008), hal.
7)Ibid., hal. 207.
8) Eko Yulian Isnur, Tata Cara Mengurus Segala Macam Surat Rumah Dan Tanah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hal 9
8) Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan, (Jakarta: Visimedia, 2011), hal 58