Tindak Pidana Kealpaan Dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Di Jalur Transjakarta
Oleh :
Abstract
The criminal law recognizes two forms of error, ie deliberate and kealpaan. Traffic accident as a form of crime that adopt a form of error in the form of negligence have a new problem with the existence of a mode of transportation Transjakarta. This case relates to an accident that occurred in the special line bus transjakarta. This study aims to determine the extent of the application of a form of negligence in a traffic accident on the track Transjakarta. As for this methods used in the conduct of research is a normative juridical, by digging deep by the concept of omission. This case aims to describe a form of negligence by other theories related to this study have descriptive type. In conducting this study, the authors affiliated in one field of science, the science of law. The data of this study is secondary data consisting of primary legal materials, secondary, and tertiary are supplemented by additional data that has been done, the results found that there is a difference in the application of the concept of negligence in the accident in the accident TransJakarta lane in general. In addition, a very different thing between the application of criminal responsibility in the train with a special line TransJakarta. Thus, it can be concluded bahawa an accident in TransJakarta lane is not unlike a traffic accident in general and not a special accident to have a special criminal liability as well.
Keywords: Crime negligence, Traffic Accident, Busway.
Abstrak
Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan.Kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu bentuk tindak pidana yang mengadopsi suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan memiliki suatu masalah baru dengan adanya suatu moda transportasi Transjakarta.Hal ini berkaitan dengan suatu kecelakaan yang terjadi dalam jalur khusus bus transjakarta. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan suatu bentuk kealpaan dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta. Adapun metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif, dengan cara menggali seacara mendalam mengenai konsep dari kealpaan. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan suatu bentuk kealpaan dengan teori lain yang terkait sehingga penelitian ini memiliki tipe penelitian deskriptif. Dalam melakukan penelitian ini, penulis berpengang pada satu bidang ilmu, yaitu ilmu hukum. Data penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dilengkapi dengan tambahan data yang telah dilakukan, ditemukan hasil bahwa tidak terdapat suatu perbedaan penerapan mengenai suatu konsep kealpaan pada kecelakaan di jalur transjakarta dengan kecelakaan pada umumnya. Selain itu, suatu hal yang berbeda jauh antara penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kereta api dengan jalur khusus transjakarta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahawa suatu kecelakaan di dalam jalur transjakarta tidaklah ubahnya suatu kecelakaan lalu lintas pada umumnya dan bukan suatu kecelakaan khusus yang mempunyai suatu bentuk pertanggung jawaban pidana yang khusus pula.
Kata Kunci : Tindak Pidana Kealpaan, Kecelakaan Lalulintas, Busway.
A. Latar Belakang Masalah
Suatu tindak pidana tidak hanya dapat terjadi dengan adanya suatu kesengajaan dari pelaku, tetapi juga terdapat suatu tindak pidana yang terjadi karena adanya suatu sikap yang kurang hati-hati atau kealpaan dari si pelaku. Dalam hal yang terakhir, sesungguhnya pelaku (pada umumnya) tidak berniat untuk melakukan suatu tindak pidana. Namun, karena kekuranghati-hatian atau bahkan kecerobohannya, pelaku tersebut melakukan suatu tindak pidana. Dalam hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dalam Bab XXI Tentang Menyebabkan Mati atau Luka-lukaKarena Kealpaan (Pasal 359 s/d 361 KUHP). Di dalam bukunya, Lamintang memberikan terjemahan pernyataan tersebut sebagai “Opzet adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilarang atau diharuskan undang-undang”. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa pembahasan mengenai opzet dan kealpaan itu sendiri merupakan suatu hal yang sangat erat, dimana dalam menentukan suatu kesalahan atas tindak pidana kealpaan sangat tergantung dari adanya kehendak (willens) dan pengetahuan/mengetahui (wetens) dari pelaku atas suatu tindak pidana. Hal ini akan memberikan jawaban kepada seorang penegak hukum mengenai apakah tindak pidana yang dilakukannya tersebut memang merupakan suatu kehendak pelaku ataukah hal itu merupakan dampak atas ketidakhati-hatian si pelaku. Selain unsur kehendak dari si pelaku tindak pidana, hal yang tidak dapat dipisahkan dari kealpaan adalah adanya unsur kesalahan atas suatu tindak pidana karena seperti yang telah diketahui bahwa sebuah peristiwa pidana umumnya tidak terlepas dari adanya kesalahan dari pelakunya. Kesalahan ini merupakan salah satu hal mendasar guna menentukan suatu peritiwa pidana karena dengan adanya kesalahan ini, penentuan bersalah atau tidak bersalahnya seorang pelaku pidana dapat dijatuhkan. Hal ini diperkuat dengan adanya penafsiran atas Pasal 44 KUHP yang berbunyi: “Tidak ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan”. Dalam bahasa asing, disebut “Geen straf zonder Schuld” (Belanda), atau “Actus non facti reum nisi mens sit rea” (Latin) atau “An Act does not constitute it self guilt unless the mind is guilty” (Inggris). Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa suatu pemahaman dan pembahasan mengenai kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting. Selain itu, kealpaan di dalam hukum pidana merupakan salah satu bentuk dari kesalahan itu sendiri. Hukum pidana mengenal adanya dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan sehingga pemahaman mengenai kesalahan merupakan hal krusial dalam memahami kealpaan itu sendiri.
Pemahaman terhadap jenis tindak pidana, khususnya berkaitan dengan delik, ditinjau dari bentuk kesalahannya juga merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pemahaman mengenai kealpaan acap kali beririsan dengan pemahaman mengenai dolus eventualis (kesengajaan dengan menyadari kemungkinan). Kesengajaan jenis ini bergradasi yang terendah dan yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini ialah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang (beserta akibat dan tindakan lainnya) yang mungkin akan terjadi. Pada dasarnya tidaklah terlihat suatu perbedaan mendasar dari konsep kealpaan itu sendiri dengan konsep dolus eventualis. Oleh karena itu, diperlukan suatu pemahaman terhadap konsep dolus sehingga dapat dilihat secara tegas perbedaan antara dolus dengan culpa. Apabila pemahaman mengenai opzet dan kesalahan, baik dalam bentuk culpa maupun dolus, telah dipahami secara mendalam maka sudah barang tentu pemahaman mengenai pertanggungjawaban pidana atas suatu tindak pidana kealpaan dapat dipahami secara lebih mudah. Namun, terdapat satu hal yang masih perlu diperhatikan di samping ketiga hal di atas, yaitu pemahaman mengenai kausalitas (sebab-akibat). Banyak ahli mengungkapkan bahwa suatu tindak pidana tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi karena adanya penyebab dari suatu hal. Hal ini berarti bahwa suatu peristiwa atau tindakan dapat menimbulkan suatu atau beberapa peristiwa lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kausalitas adalah suatu hal yang menyebabkan ada atau terjadinya suatu tindak pidana. Dengan diketahuinya suatu hal yang menyebabkan suatu akibat terjadi, dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut tergolong sebagai suatu tindak pidana atau bukan. Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa dapat dipidananya suatu tingkah laku tergantung pada timbulnya suatu akibat dari tindakan tersebut. Berkaitan dengan suatu bentuk tindak pidana kealpaan, tentunya tidak dapat dipisahkan dari masalah kausalitas. Hal ini karena suatu bentuk tindak pidana kealpaan umumnya merupakan suatu bentuk tindak pidana materil sehingga pembahasannya tidaklah dapat dipisahkan dengan suatu bentuk ajaran kausalitas. Setelah memahami secara pasti mengenai tindak pidana kealpaan beserta teori-teori terkait maka timbul suatu pertanyaan bagaimana sesungguhnya penerapan ketentuan mengenai tindak pidana kealpaan ini di dalam kehidupan nyata. Umumnya, penerapan tindak pidana kealpaan kerap kali dikaitkan dengan tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Hal ini karena adanya anggapan bahwasannya semua kecelakaan yang terjadi di dalam lalu lintas jalan raya terjadi bukan karena kehendak dari para pihak, melainkan karena adanya unsur ketidaksengajaan atau ketidakhatihatian atau bahkan kecerobohan dari salah satu pihak ataupun kedua belah pihak. Namun, dalam hal ini sering kali para pengemudi kendaraan bermotor yang berukuran lebih besarlah yang dipersalahkan atas suatu kecelakaan lalu lintas.
Hal yang paling menarik perhatian adalah kecelakaan yang kerap kali terjadi di jalur Transjakarta. Transjakarta merupakan suatu moda transportasi baru yang diperkenalkan oleh pihak Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta untuk mengatasi masalah kemacetan yang menjadi pekerjaan rumah paling besar bagi Pemda DKI Jakarta. Moda transportasi ini merupakan suatu moda transportasi massal, dimana dalam pengoperasiannya bus Transjakarta berjalan di dalam suatu jalur khusus bus Transjakarta yang terpisah dengan jalur pengguna jalan lainnya. Pemisahan jalur ini menggunakan separator di jalur kanan di tiap jalan yang dilalui oleh bus Transjakarta. Namun, tak jarang pemisahan tersebut hanya dipisahkan dengan menggunakan marka jalan dan menyatu dengan jalur kendaraan lainnya. Jalur Transjakarta sendiri (yang dipisahkan oleh separator jalan) merupakan jalur yang hanya diperuntukan bagi bus Transjakarta dan bukan bagi pengguna jalan lainnya. Merupakan suatu hal yang cukup aneh apabila di dalam suatu jalur Transjakarta kerap kali terjadi kecelakaan yang melibatkan bus Transjakarta dengan pengguna jalan lainnya dan tidak jarang kecelakaan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban luka maupun korban jiwa.
Berdasarkan laporan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Transjakarta Busway, sedikitnya telah terjadi 54 kecelakaan dalam semester pertama tahun 2011. Pada dasarnya, suatu kecelakaan lalu lintas merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, apabila kecelakaan tersebut terjadi di dalam jalur Transjakarta yang terpisah dengan jalur umum, tentunya merupakan suatu kejanggalan. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana mungkin kecelakaan tersebut dapat terjadi di dalam suatu jalur yang (seharusnya) tidak ada pengendara lain (antara bus Transjakarta dengan kendaraan lain). Hal ini tentunya sangat menarik untuk ditelaah secara lebih mendalam dari segi hukum mengenai pertanggungjawaban pidana dalam kecelakaan di dalam jalur Transjakarta. Permasalahan yang paling menarik adalah bagaimana mungkin suatu jalur khusus bagi bus Transjakarta kerap kali dilanggar oleh para pengguna jalan lain yang pada akhirnya mengakibatkan suatu kecelakaan lalu lintas dan kerap kali kecelakaan tersebut mengharuskan adanya suatu pertanggungjawaban pidana. Dalam hal yang terakhir, tentunya diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai kemungkinan adanya kesalahan dari pihak korban sendiri ataupun kemungkinan tidak adanya kesalahan dari para pihak yang terlibat dalam kecelakaan tersebut. Penulisan skripsi ini akan mengaitkan mengenai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana kealpaan yang mungkin saja dikenakan kepada para pengemudi bus Transjakarta yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, dalam skripsi ini, akan dibahas mengenai tindak pidana kealpaan itu sendiri dan bagaimana pertanggungjawabannya ap abila dipandang dalam beberapa aspek hukum pidana di Indonesia.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah ;
1. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana kealpaan dan bagaimana pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana tersebut?
2. Bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana kealpaan dalam suatu perkara kecelakaan lalu lintas di dalam KUHP dan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?
3. Bagaimanakah penerapan tindak pidana kealpaan dan pertanggungjawabannya dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta?
C. Analisis Kasus Kecelakaan Di Jalur Transjakarta
1. Kasus Posisi
Kasus kecelakaan bus Transjakarta yang penulis ambil merupakan suatu contoh kasus yang terjadi antara bus Transjakarta dengan seorang pejalan kaki. Terdakwa dalam kasus kecelakaan ini adalah seorang supir perempuan bernama Merke Lourine Rumengan yang pada saat kejadian berusia 42 tahun, sedangkan korban dalam peristiwa ini adalah seorang siswa Sekolah Dasar bernama M. Rizky Firmansyah berusia 9 tahun.
Peristiwa kecelakaan ini terjadi pada hari Rabu, 9 Februari 2011 sekitar pukul 10.50 WIB di Jalan Mampang Prapatan arah utara di depan Wisma Mampang sebelum Shelter Busway Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pada saat itu terdakwa tengah mengemudikan sebuah bus Transjakarta dengan nomor polisi B 7445 IX dengan trayek Ragunan-Dukuh Atas.. Pada saat Kondisi jalan umum padat pada saat kecelakaan terjadi, namun kondisi jalan di dalam jalur khusus bus Transjakarta lancar sehingga dengan leluasa terdakwa dapat memacu kendaraannya dengan kecepatan 30—40 km/jam.
Kejadian tersebut bermula ketika terdakwa tengah mengendarai bus Transjakarta tersebut di Jalan Mampang Prapatan arah utara sebelum shelter busway Mampang Prapatan dengan kecepatan sekitar 30—40 km/jam menuju ke Dukuh Atas yang bersamaan secara tiba-tiba korban yang baru saja pulang sekolah menyeberang jalan serta jalur bus Transjakarta tersebut. Ketika kejadian terjadi terdakwa tengah fokus melihat shelter Mampang Prapatan untuk berhenti dan menaik-turunkan penumpang sehingga ia kurang menyadari ada pejalan kaki yang tengah menyeberang.
Hal itu menyebabkan kecelakaan tersebut tidak terelakan dan akhirnya korban tertabrak. Tabrakan tersebut menyebabkan korban terpental ke bagian depan kanan bus dalam posisi tertelungkup dengan hidung dan telinga yang mengeluarkan darah serta napas tersengal-sengal. Melihat kondisi korban, salah seorang saksi mata membawa korban ke Rumah Sakit Duren Tiga Jakarta Selatan. Korban meninggal dunia ketika sampai di rumah sakit. Berdasarkan hasil Visum et Repertum diketahui bahwa penyebab kematian korban adalah karena memar dan pembengkakan di kepala, memar dan luka lecet di lengan bawah kanan dan kiri, serta tangan kanan dan kiri yang diakibatkan kekerasan benda tumpul. Berdasarkan hal tersebut, akhirnya terdakwa ditangkap dan didakwa dengan Pasal 310 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam persidangan, terdakwa membenarkan segala hal yang diungkapkan oleh jaksa dalam dakwaannya. Pada akhirnya, dalam tuntutannya jaksa/penuntut umum hanya menuntut terdakwa atas pelanggaran Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 karena segala unsur dalam Pasal 310 ayat (4) tersebut telah terpenuhi sehingga jaksa / penuntut umum tidak perlu lagi membuktikan segala unsur di dalam Pasal 310 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengungkapkan bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti yang diajukan ke persidangan terbukti bahwa semua unsur dalam dakwaan telah terpenuhi sehingga terdakwa dinyatakan telah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009, yaitu unsur barangsiapa dan karena salahnya menyebabkan matinya orang lain.
Selain itu, di dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa dalam hal ini tidak ditemukan unsur pemaaf maupun pembenar sehingga terdakwa mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya. Dalam putusan ini, terdapat beberapa hal yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa, di antaranya adalah:
Hal-hal yang memberatkan:
Perbuatan terdakwa mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa belum pernah dihukum;
2. Adanya perdamaian antara pihak keluarga dengan pihak terdakwa sehingga pihak keluarga korban tidak menuntut karena itu merupakan musibah;
3. Terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya;
4. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi; dan
5. Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan orang mati sehingga terdakwa dijatuhi pidana penjara selama enam bulan. Namun, di dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa kecuali di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim bahwa terdakwa sebelum waktu percobaan selama satu tahun berakhir telah bersalah melakukan suatu tindak pidana.
2. Analisis Putusan
Pada bagian ini, kasus di atas akan dianalisis berdasarkan teori-teori yang ada dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Analisis pada bagian ini akan dibagi ke dalam tiga hal yang utama, yaitu analisis berdasarkan unsur, analisis mengenai keterkaitan jalur Transjakarta dalam suatu kecelakaan lalu lintas, dan analisis berdasarkan beberapa hukum terkait di luar aturan mengenai tindak pidana kealpaan namun tetap terkait pada penerapan hukum dalam suatu tindak pidana kealpaan. Untuk mempermudah dalam analisis kasus-kasus tersebut, ketiga nama terdakwa dalam bab ini akan disingkat menggunakan inisial dari masing-masing terdakwa. Terdakwa atas nama Merke Lourine Rumengan akan disingkat menjadi terdakwa ML.
3. Analisis Unsur
Suatu tindak pidana tentunya tidak terlepas dari setiap unsur-unsur terkait yang menyebabkan suatu tindakan dapat dibebankan suatu beban pertanggungjawaban pidana. Permasalahan pertama terkait unsur dalam contoh kasus di atas adalah mengenai unsur pasal yang dibebankan kepada terdakwa, yaitu Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009. pihak majelis hakim menggunakan unsur Pasal 359 KUHP, yaitu unsur barangsiapa dan unsur karena kesalahannya/kelalaiannya menyebabkan matinya seseorang. Seharusnya dalam menguraikan unsur mengenai Pasal 310 ayat (4), majelis hakim menggunakan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Setiap orang
Unsur setiap orang pada dasarnya tidaklah berbeda dengan pengertian dari unsur barangsiapa di dalam KUHP. Unsur ini merupakan suatu unsur yang menunjukkan subjek dari suatu tindak pidana yang memiliki arti bahwa siapa saja dapat dibebankan pertangungjawaban pidana apabila orang tersebut melanggar ketentuan sebagaimana diatur di dalam pasal ini. Pembebanan pertanggungjawaban ini pun tentunya tidak terlepas dari kemampuan bertanggung jawab si pelaku.
Dalam kasus di atas, unsur ini telah terpenuhi dengan terpenuhinya unsur barangsiapa dalam putusan tersebut. Dalam putusan tersebut, dikemukakan bahwa berdasarkan semua fakta yang terungkap dipersidangan mengenai identitas dari terdakwa yang bersesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh pihak penyidik kepolisian dan pihak jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya yang dibenarkan oleh terdakwa. Selain itu, dalam kasus ini, tidak terdapat suatu dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada terdakwa. Hal ini didasari pada kesadaran bahwa ketika tindak pidana ini terjadi, terdakwa dalam keadaan sehat akal dan tidak memiliki suatu penyakit jiwa tertentu yang memengaruhi pikirannya untuk mempertimbangkan tindakan yang telah mereka lakukan. Selain itu, terdakwa dalam kasus ini merupakan orang yang telah dewasa. Hal ini karena dalam ketiga kasus tersebut, para terdakwa mampu menyadari, mengerti, dan mampu menentukan kehendak atas perbuatannya tersebut. Selain itu, hal ini juga karena terdakwa telah berusia lebih dari 18 tahun.
b. Yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
Mengakibatkan kecelakaan lalu lintas; Hal ini berarti bahwa kecelakaan yang timbul dalam tindak pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 310 UU No. 22 Tahun 2009 ini terjadi di luar kehendak si pelaku. Kecelakaan tersebut terjadi karena kelalaian si pelaku dalam mengemudikan kendaraannya. Kendaraan dalam pasal ini hanya terbatas pada kendaraan bermotor saja. Kendaraan bermotor di dalam UU No. 22 Tahun 2009 disebutkan sebagai suatu kendaraan di jalan yang terdiri atas kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. Artinya, kendaraan bermotor di dalam pasal ini adalah semua kendaraan yang menggunakan mesin sebagai penggeraknya dan menggunakan jalan dalam pengoperasiannya, sedangkan kereta api tidak digolongkan sebagai suatu kendaraan bermotor karena menggunakan rel dalam pengoperasiannya.
Dalam kasus di atas, unsur mengemudikan kendaraan bermotor ini tidaklah dituliskan di dalam pertimbangan putusannya. Hal ini sungguh disayangkan karena dalam unsur ini merupakan suatu unsur yang cukup penting guna memberikan penekanan limitasi pertanggungjawaban pidana atas suatu tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Unsur ini mencoba membatasi pembebanan pertanggungjawaban pidana pada suatu kecelakaan lalu lintas hanya dapat dibebankan kepada seseorang yang mengemudikan kendaraan bermotor saja. Unsur ini juga merupakan suatu unsur yang memberikan pengaturan secara lebih spesifik dalam UU No. 22 Tahun 2009 apabila dibandingkan dengan penerapan pengaturan mengenai kealpaan di dalam KUHP. Apabila dikaitkan dengan kasus di atas, terdakwa tentu telah memenuhi ketiga unsur ini.
Hal ini berdasarkan bahwa pada saat kejadian tersebut terjadi, terdakwa tengah mengendarai sebuah armada bus berupa bus Transjakarta dengan nomor polisi B 7445 IX pada kasus terdakwa ML. bus tersebut merupakan suatu bentuk kendaraan yang digerakkan dengan suatu peralatan mekanik berupa mesin dan tidak berjalan di atas suatu rel, tetapi berjalan di atas sebuah jalan aspal. Hal ini tentunya sesuai dengan definisi mengenai kendaraan bermotor yang diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Berdasarkan hal tersebut, pengertian atas kendaraan bermotor telah terpenuhi dan unsur mengendarai kendaraan bermotor pun telah terpenuhi. Selain itu, unsur mengendarai kendaraan di dalam pasal ini terdapat salah satu bagian dari unsur merupakan unsur terpenting di dalam rumusan Pasal 310 ayat (4) itu sendiri. Hal ini karena unsur ini merupakan suatu unsur yang menentukan bentuk dari kesalahan atas suatu tindak pidana yang diatur di dalam pasal ini. Dalam unsur ini, dikemukakan bahwa kesalahan yang diatur di dalam pasal ini merupakan suatu bentuk kealpaan. Seperti halnya suatu bentuk tindak pidana, dalam suatu kealpaan pun terdapat beberapa unsure yang perlu dipenuhi atas suatu perbuatan agar perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai suatu bentuk kealpaan dan bukan kesengajaan.
Dalam kasus ini, unsur dari tindak pidana kealpaan tersebut, terlihat berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh tiap-tiap terdakwa ketika terdakwa mengendarai kendaraan yang mereka kemudikan. Kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa ML adalah terdakwa terlalu fokus kepada shelter berikutnya untuk menaikkan dan menurunkan penumpangnya sehingga terdakwa ML tidak melihat korban ketika menyeberang dan menyebabkan terjadinya kecelakaan tersebut. Hal ini tentunya menunjukkan kurangnya pemikiran terdakwa ML bahwa apabila terdakwa ML terlalu focus pada shelter selanjutnya maka terdakwa ML akan mengenyampingkan focus terhadap jalan tersebut dan memungkinkan terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas. Hal ini tentunya berkaitan dengan unsur kealpaan yang kedua mengenai kurangnya pengetahuan yang diperlukan.
Unsur ini terpenuhi berdasarkan kesalahan tersebut karena sebagai seorang pengemudi bus sudah sepatutnya ia mengetahui bahwa terdapat suatu kemungkinan jalur yang tengah dikemudikannya tersebut dilalui oleh kendaraan lain maupun orang yang hendak menyeberang jalan. Kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa ML itu pun pada dasarnya telah menunjukkan kurangnya kebijaksanaan terdakwa dalam mengemudikan sebuah kendaraan bermotor. Sebagai pengemudi yang bijak, sudah sepatutnya terdakwa tetap fokus pada jalan yang ada di depannya dan tidak terfokus pada keadaan lainnnya yang mungkin dapat mengurangi konsentrasinya ketika mengemudikan kendaraan bermotor.
c. Yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia
Unsur ini menunjukkan akibat dari kecelakaan itu sendiri. Dalam pasal ini, akibat dari kecelakaan yang terjadi adalah meninggalnya korban atau dapat diartikan sebagai hilangnya nyawa seseorang. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di muka persidangan, unsur ini telah terpenuhi. Dalam kasus pertama, hal ini dibuktikan dengan adanya surat keterangan kematian No. 11/1.755.3/2001 yang menerangkan bahwa M. Rizki Firmansyah pada 9 Februari 2011 sekitar pukul 11.15 telah meninggal di rumah sakit. Selain itu, berdasarkan hasil Visum et Repertum Nomor 008/VER/RSA/008-II/2011 pada 9 Februari 2011 yang ditandatangani oleh dr. Linda Lestari dengan kesimpulan pada korban anak laki-laki berusia 9 tahun ini ditemukan memar dan pembengkakan di kepala, memar dan luka lecet pada lengan bawah kanan kiri serta tangan kanan dan kiri akibat kekerasan benda tumpul. Luka-luka tersebut telah menimbulkan kematian korban.
Apabila dikaitkan dengan teori mengenai kausalitas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab terdekat atau paling memungkinkan menyebabkan kematian yang dialami oleh korban tersebut adalah karena tabrakan yang terjadi antara korban dengan bus yang dikemudikan oleh terdakwa. Hal ini sesuai dengan teori kausalitas, yaitu condito sine quanon yang umumnya digunakan oleh hakim di Indonesia dalam memutuskan suatu perkara pidana. Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi Muhamad Budi Setiawan yang melihat kejadian tersebut serta keterangan yang dikemukakan oleh terdakwa di muka persidangan.
Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa pertanggungjawaban pidana atas kecelakaan tersebut dapat dibebankan kepada terdakwa karena penyebab dari kematian yang terjadi pada korban adalah karena tertabrak oleh bus yang dikendalikan oleh terdakwa. Berdasarkan uraian mengenai unsur-unsur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009, terlihat bahwa terdakwa memang telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut. Hal ini tentunya berimbas pada pembebanan pertanggungjawaban pidana pada terdakwa atas tindakan yang telah dilakukan.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa dalam merumuskan unsur-unsur Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 kerap kali hakim masih menguraikannya menggunakan unsur dalam Pasal 359 KUHP. Hal ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk penyimpangan karena terdapat perbedaan mendasar antara unsur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 dengan unsur dalam Pasal 359 KUHP. Pengaturan unsur-unsur dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 memiliki suatu perbedaan yang mengatur secara lebih spesifik mengenai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu lintas disbanding dengan kealpaan yang diatur dalam KUHP.
Selain analisis berdasarkan unsur dari tindak pidana itu sendiri, pada bagian ini, juga dilakukan analisis mengenai tingkat, bentuk, dan kesalahan korban sebagai salah satu penyebab terjadinya kecelakaan. perkara tersebut berdasarkan unsur tindak pidana yang telah dikemukakan pada putusan merupakan suatu bentuk tindak pidana kealpaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu bentuk kealpaan dengan tingkatan kealpaan berat (culpa lata). Hal tersebut karena kealpaan yang dilakukan oleh terdakwa memungkinkan adanya suatu pemidanaan terhadap apa yang dilakukannya.
Selain itu, dalam hal ini, akibat yang ditimbulkan atas perbuatan yang dilakukan para terdakwa secara umum dinilai sebagai suatu hal yang besar, yaitu hilangnya nyawa seseorang. Hal yang sangat disayangkan terkait dengan tingkatan kealpaan adalah pada kasus ini, tidak terdapat suatu pertimbangan mengenai tingkatan kealpaan ini sebagai suatu pertimbangan penjatuhan berat ringannya putusan para terdakwa. Para hakim dalam kasus ini tidak menyinggung suatu pertimbangan mengenai tingkatan kealpaan ini untuk menentukan berbagai aspek dalam pemidanaan terdakwa.
Dalam putusan, hal ini sangat sulit untuk menentukan tingkatan dari kealpaan ini sendiri karena dalam proses pemeriksaan, baik itu penyidikan maupun persidangan, baik polisi, jaksa/penuntut umum maupun hakim, sama sekali tidak memperhatikan dan menanyakan kepada para terdakwa mengenai suatu kesadaran terdakwa akan kemungkinan terjadinya tindak pidana sebagai suatu patokan untuk menentukan tingkatan kealpaan ini. Namun, apabila dilihat berdasarkan kasus posisi dan berdasarkan fakta-fakta yang dikemukakan di muka persidangan, kasus ini dapat digolongkan sebagai suatu kealpaan yang disadari atau suatu bentuk kealpaan yang tidak disadari. Terdakwa ML menyatakan bahwa dia sama sekali tidak membayangkan bahwa ada kemungkinan korban menyeberang jalan. Terdakwa ML dalam hal ini terlalu fokus dengan shelter selanjutnya sehingga ia tidak berkonsentrasi terhadap jalan dan keadaan sekitar yang akan dilalui serta tidak membayangkan bahwa ada kemungkinan pejalan kaki yang akan menyeberang jalan.
Dalam kasus ini, korban menyeberang jalan tanpa menggunakan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang telah disediakan dan menyeberang secara berlari. Walaupun dalam UU No. 22 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap pengemudi kendaraan wajib menjamin keselamatan pejalan kaki dan memperkirakan serta mendahulukan pejalan kaki apabila hendak menyeberang jalan. Namun, dalam kasus ini, kecelakaan korban juga cukup besar. Seperti yang telah dikemukakan bahwa penyebab kecelakaan terjadi adalah karena terdakwa tidak fokus ke arah jalan dan hanya fokus kepada shelter berikutnya untuk menurunkan penumpang.
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi kejadian tidak jauh dari shelter Transjakarta, sedangkan seperti yang telah diketahui bahwa pada suatu shelter Transjakarta pasti disediakan suatu fasilitas penyeberangan, baik itu JPO maupun zebra cross. Korban dalam kasus ini tidak menggunakan fasilitas penyeberangan yang ada dan memilih untuk menyeberang jalan secara sembarangan sehingga menyebabkan kecelakaan ini terjadi. Berdasarkan hal ini, korban telah mengenyampingkan ketentuan dalam Pasal 132 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal ini, kesalahan dari korban mengambil adil yang cukup besar pada proses terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Ketiga hal tersebut, yakni tingkatan kealpaan, bentuk kealpaan, dan kesalahan korban merupakan berbagai hal yang bisa memengaruhi berat ringannya penjatuhan pidana dalam suatu perkara pidana. Seorang hakim sebaiknya memberikan sebuah pertimbangan berdasarkan ketiga hal di atas sebelum ia menjatuhkan suatu hukuman pidana kepada terdakwa yang tengah melakukan suatu kealpaan dan diajukan ke meja persidangan. Pada tiga putusan yang dianalisis, hal ini tidak terlihat sama sekali dalam pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan kepada ketiga terdakwa.
Hal ini sungguh disayangkan karena apabila hal ini dikaji secara mendalam dalam kasus-kasus tersebut, hakim akan lebih mudah untuk menentukan berat ringannya pidana yang dapat dijatuhkan kepada para terdakwa dengan mempertimbangkannya dari berbagai aspek. Dengan dipertimbangkannya ketiga hal ini pun, rasa keadilan tentunya akan lebih terpenuhi karena terdakwa diharapkan tahu alasan-alasan apa saja yang secara mendetil yang menyebabkan si terdakwa dijatuhi suatu pemindanaan.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai suatu tindak pidana kealpaan dalam suatu kecelakaan lalu lintas, didapatkan suatu kesimpulan berupa:
a. Tindak pidana kealpaan merupakan suatu bentuk tindak pidana dengan bentuk kesalahan berupa kealpaan. Kesalahan pada suatu kealpaan terjadi apabila si pelaku tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika seharusnya kemampuan itu digunakan. Kemampuan dalam hal kealpaan ini merupakan suatu kemampuan seorang pelaku untuk bertindak cermat atau hati-hati ketika ia tengah melakukan suatu hal. Suatu pertanggungjawaban dalam tindak pidana kealpaan tidaklah ubahnya dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini berarti bahwa untuk dapat dibebankan suatu pertanggungjawaban pidana maka diperlukan empat syarat, yaitu melakukan suatu perbuatan pidana (sifat melawan hukum); di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab; mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kealpaan; dan tidak adanya alasan pemaaf. Untuk menentukan suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan, sebuah tindak pidana harus memenuhi unsur dari kealpaan itu sendiri.
b. Pengaturan mengenai tindak pidana kealpaan dalam suatu perkara kecelakaan lalu lintas di dalam KUHP diatur dalam Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP hanya membebankan pertanggungjawaban pidana pada suatu kealpaan yang menimbulkan kematian dan luka berat. Hal ini menyebabkan suatu kealpaan yang menyebabkan luka ringan tidak diatur secara spesifik, seperti layaknya suatu kealpaan yang menyebabkan mati ataupun luka berat. KUHP mengenal suatu pemberatan dalam suatu delik kealpaan yang diatur dalam Pasal 361 KUHP. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan bahwa ada beberapa ketentuan pidana yang dituangkan ke dalam 34 (tiga puluh empat) pasal, di mana berdasarkan Pasal 316 UU No. 22 Tahun 2009, 28 (dua puluh delapan) pasal mengatur mengenai pelanggaran dan 6 (enam) pasal merupakan suatu kejahatan.
c. Penerapan tindak pidana kealpaan dan pertanggungjawabannya dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta, pada dasarnya lebih mengacu pada aspek pengadaan bus Transjakarta dalam lalu lintas angkutan jalan diatur di dalam UU No. 22 Tahun 2009, khususnya di dalam Pasal 93 ayat (2) Huruf a dan Pasal 158 ayat (2). Selain itu, pengadaan bus Transjakarta juga dipertegas dengan Pergub No. 103 Tahun 2007. Namun secara umum bilamana terjadi pelanggaran berkenaan dengan kecelakaan lalu lintas di jalur Jakarta tentunya mengacu pada KUHP (Pasal 359 jo 360) dan disinkronisasikan dengan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
2. Saran
Setelah mengetahui kesimpulan mengenai tindak pidana kealpaan dan penerapannya dalam suatu kecelakaan di jalur Transjakarta, pada bagian ini akan diberikan beberapa saran mengenai hal tersebut. Adapun beberapa saran yang diberikan mengenai hal tersebut adalah:
1. Pada penerapan suatu delik kealpaan, seorang aparat penegak hukum dituntut bertindak lebih cemat dalam melakukan suatu penelitian mengenai suatu perkara, hal ini di karena suatu tindak pidana kealpaan memiliki suatu irisan dengan suatu tindak pidana kesengajaan yang sukar dibedakan satu dengan yang lainnya sehingga dapat mencegah kemungkinan penerapan hukum yang salah. Selain itu dalam melakukan suatu analisis mengenai suatu kealpaan, hakim di tuntut lebih cemat dalam menentukan tingkat dan bentuk dari kealpaan itu sendiri untuk mempertimbangkan berat ringannya suatu penjatuhan pidana atas kesalahan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Hal ini tentunya bertujuan untuk menjatuhkan suatu pemidanaan yang seadil-adilnya bagi seorang pelaku tindak pidana.
2. Pada tindak pidana kealpaan, khususnya kecelakaan lalu lintas, hakimpun dituntut untuk menggali secara lebih mendalam mengenai kesalahan yang dilakukan oleh seorang korban yang mungkin mengambil andil lebih besar dari kesalahan pelaku. Hal ini sangat penting karena pertimbangan atas kesalahan dari korban itu sendiri pada nantinya dapat mempengaruhi berat ringannya pemidanaan pada terdakwa.
3. Diadakan suatu perbaikan terkait Pasal 236 UU no. 22 tahun 2009 mengenai tanggungjawab supir dan pemilik kendaraan bermotor untuk mengganti kerugian yang dialami oleh seorang korban kecelakaan lalu lintas. Perbaikan dalam hal ini meliputi suatu aturan lebih lanjut yang menerangkan penggunaan aturan ganti kerugian dalam pasal ini dan ruang lingkup ganti kerugian yang perlu digantikan oleh seorang terdakwa dalam perkara kecelakaan lalu lintas.
4. Transjakarta sebagai salah satu sistem transportasi massal di DKI Jakarta diharapkan dilengkapi dengan suatu aturan yang lebih komperhensif mengenai Transjakarta, agar pengaturan mengenai pelanggaran dalam suatu jalur Transjakarta memiliki kekuatan penegakkan hukum yang lebih kuat.
5. Meningkatkan sosialisasi mengenai asuransi Jasa Raharja serta memberikan pemberitahuan secara langsung kepada para korban maupun keluarga korban kecelakaan lalu lintas mengenai asuransi Jasa Raharja apabila terjadi kecelakaan lalu lintas.
6. Diperlukan adanya suatu sosialisasi secara lebih lanjut kepada pihak transjakarta oleh pihak kepolisian maupun dinas perhubungan guna mengurangi arogansi para pengemudi Transjakarta dalam memacu kendaraannya di jalur transjakarta. Hal ini tentunya berkaitan dengan suatu pemahaman bahwa jalur transjakarta bukanlah sebuah jalur khusus mutlak yang membentuk suatu pertanggungjawaban pidana yang berbeda layaknya kereta api. Sehingga aturan dan kehati-hatian dalam berkendara tetap harus diperhatikan oleh seorang pengendara bus transjakarta.
E. Referensi
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994).
E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982).
J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987).
P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997).
http://metrotvnews.com/metromain /newscat /metropolitan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 280. E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 161.
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994) hlm. 381. J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 153. Pada umumnya, masyarakat mengenal bus Transjakarta sebagai busway. Hal ini terjadi karena bus Transjakarta memiliki lajur tersendiri di dalam pengoperasiannya yang disebut sebagai busway yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai jalur bus. Namun hal ini merupakan suatu anggapan yang salah, karena apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia penggunaan istilah yang tepat adalah jalur bus Transjakarta. Berdasarkan berita pada situs http://metrotvnews.com/metromain /newscat /metropolitan /2011/07/11/57515/54-Kecelakaan-di-Jalur-Busway-Selama diakses pada 26 September 2012 ,pukul 14.50 WIB.